Suku Toba adalah salah satu sukubangsa di Indonesia yang mobilitasnya
sangat tinggi, dominan dan vokal tetapi sangat praktis, sehingga
duniapun mengenal mereka hanya sebagai Batak. ‘Batak-batak’ lain harus
menjelaskan identitas mereka dengan susah payah, dengan tambahan
keterangan yang tidak dimengerti dan membosankan atau kadang-kadang juga
’meyakinkan’ pendengarnya, dengan sambutan ‘oo ya, saya baru ngerti,
selama ini saya taunya cuma . . .’ dst, karena mereka belum pernah
mengenal ‘batak lain’ selain Batak.
Bagi ‘Batak lain’ kalau mengaku dirinya orang Batak, harus menerima
nasibnya, identitas sukunya tertutupi atau tidak akan pernah dikenal
dunia luar, atau terpaksa memperkenalkan dengan penjelasan yang cukup
panjang.
Selama Suku Karo, Simalungun, Mandailing atau Pakpak mengaku dirinya
‘Batak’, selama itu pula dunia luar tidak membutuhkan penjelasan lebih
lanjut, karena sudah mengenal ‘Batak’, dan selama itu pula identitas
mereka tertutup tidak dikenal dunia luar. Tidak ada yang bisa disalahkan
selain suku-suku itu sendiri kalau mereka tidak dikenal oleh dunia luar
atau yang dikenal hanya ‘Batak’. Memakai istilah ‘Batak’ atau
memperkenalkan identitas suku sendiri tanpa mengikatkan diri dengan
definisi antropologi lama diatas, sehingga lebih meringankan usaha
pengenalan identitas dari dunia luar, artinya dalam rangka pencerahan.
Pencerahan adalah syarat penting perdamaian dan perubahan, dan
seterusnya adalah syarat penting perkembangan alias kemajuan. Pencerahan
yang dilancarkan oleh Perkoeah dan sendra-tari Tartar Bintang di Eropah
membawakan dan memperkenalkan budaya suku Karo, telah mengakibatkan
MINAT TERHADAP KARO MENINGKAT DRASTIS DI EROPAH (baca di Sora Mido) dan
etnis Karo terhitung dan terlihat sederajat denga etnis-etnis lainnya.
Di Pulau Jawa masih sering terdengar ‘Batak Halus’, ‘Batak Jawa’,
atau terakhir ‘Batak Solo’. Orang-orang yang dimaksud disini kebanyakan
adalah orang-orang Karo tidak perlu ada keraguan. Tetapi dengan
istilah-istilah demikian tentu ada pengertian sebaliknya yaitu ‘Batak
Kasar’. Ini semua menggambarkan pengetahuan dibalik ‘the veil of
ignorance’, dibelakang ’tabir kebodohan’ atau ketidaktahuan.
Ini bukan hanya di Jawa, tapi bahkan ke luar negeri. Masa 59 tahun
merdeka masih belum cukup untuk membuka tabir kebodohan. Bagi kebanyakan
orang Karo, jalan yang paling ringan dan praktis ialah: ‘KARO adalah
KARO, BATAK adalah BATAK. KARO dan BATAK adalah dua suku yang berbeda’,
konkrit dan jelas, dan kalau tidak mengerti atau mau tahu lebih jauh
belajar sendirilah. Saya adalah Karo dan Suku Karo ada, dan bisa
dipelajari terpisah dari adanya suku lain.
Orang Toba tetap mempertahankan ‘Batak’, harus ada respek dari yang
lain. Dan jika yang lain tidak memakai ‘Batak’ dengan alasan-alasan
seperti diatas, juga harus ada respek yang sama. Disinilah ‘perpisahan’
atau perbedaan. Pengakuan, respek dan penghargaan terhadap perbedaan
atau ‘perpisahan’, adalah prasyarat atau permulaan kebersamaan. Tidak
ada syarat lain yang mungkin dan mampu melahirkan simpati, dan simpati
sesama warga, itulah yang melahirkan kebersamaan atau kerjasama yang
mungkin.
Kalau kita mengatakan Karo bukan Batak, tentunya ada alasan yang kuat
yang mendukungn pendapat itu. Yang jelas, dari segi adat istiadat ada
persamaan (titik singgung) antara Karo dengan Batak. Perbedaannya pun
tentu saja ada.
Hal ini perlu kita kaji secara lebih mendalam. Kalau kita hanya
mengatakan Karo bukan Batak tanpa ada argumentasi kulutral yang kuat,
bisa jadi tesis itu hanya bertitik tolak dari rasa tidak suka kalau
Tapanuli (dugaan) mengganggap dirinya atau kita anggap sebagai “big
brother”. Dan bisa jadi, anggapan itu sangat subyektif.
Sekarang (2013) kita masih membicarakan KBB, tetapi semua kita bisa
merasakan sendiri bagaimana perbedaannya 10 tahun lalu, sikap kita dan
cara kita mengangkat dan menganalisa persoalan KBB. Sangat banyak
peningkatan menurut penglihatan saya di milis ini. Dulu kita masih mau
mencari jawaban, sekarang bukan tingkat itu lagi, kita telah banyak
mengembangkan dan memastikan persoalannya sehingga bangsa-bangsa lain
pun tak ragu lagi bahwa Karo dan budayanya, filsafat dan dialektikanya
yang sudah relatif tinggi sudah ada sejak 7400 th lalu.