Featured Posts Coolbthemes

Minggu, 14 Desember 2014

Karo Bukan Batak pada Liputan Indonesia Bagus di NET TV


Liputan acara Indonesia Bagus di NET TV yang tayang pada, Minggu (07/09/2014) dengan judul Berastagi Sumatera Utara telah memperjelas bahwa Suku Karo adalah salah satu suku bangsa mandiri di Indonesia dan bukan merupakan bagian dari Suku Batak. Hal ini dijelaskan melalui acara Indonesia Bagus dengan pernyataan bahwa meski keberadaan Berastagi berada di Sumatera Utara, tetapi penduduk yang mendiami daerah ini bukanlah orang Batak, tetapi mereka lebih senang disebut sebagai orang Karo.
“Berastagi ini ada di dataran tinggi Karo, walau ada di Sumatera Utara kami bukan orang Batak, kami lebih suka disebut orang Karo. Beda dengan kalak Teba itu sebutan orang Karo untuk orang Batak Tapanuli umumnya.” Demikian pernyataan narator pada acara Indonesia Bagus yang tayang di NET TV tersebut.
Memang secara sepintas masih ada rasa kurang puas dari beberapa masyarakat Karo dimedia sosial terkait liputan Indonesia Bagus yang tayang di NET TV tersebut. Kekurang puasan tersebut terasa ketika musik pengiring acara yang meliput wilayah Karo di Berastagi itu tidak menggunakan musik khas Karo, tetapi masih menggunakan musik tradisional dari daerah lain.
Berikut adalah video liputan acara Indonesia Bagus di NET TV yang bersumber dari situs berbagi video Youtube. Adapun pernyataan penegasan bahwa Karo bukan Batak dapat disaksikan pada video ini mulai menit ke 8:10

Poin Penting Tentang Pernyataan Karo Bukan Batak



Inilah beberapa kata kunci atau poin penting dalam debat mengenai posisi Karo sebagai Batak atau bukan Batak yang ditulis oleh Juara Ginting melalui mailing list Karo.
1. Batak terdiri dari Toba, Samosir, Humbang dan Silindung. Di literatur, keempat kelompok ini disebut Batak Toba. Apa yang mempersatukan Toba, Samosir,Humbang dan Silindung kalau bukan Batak?
2. Nama GBKP sering menjadi ganjalan bagi sebagian orang Karo untuk bisa menerima Karo bukan Batak. Perlu diketahui bahwa Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) menjadi nama gereja itu bukanlah sejak awal masuknya Kristen ke Tanah Karo. Pada mulanya missionaris Belanda dari NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) mendirikan Gereja Karo. Ketika Jerman menaklukkan Belanda pada Perang Dunia II, Gereja Karo diubah namanya melalui Sidang Sinode I menjadi Gereja Batak Karo Protestan di tahun 1941. Ingat, kekristenan di daerah Batak dikembangkan oleh Reinisch Mission (RM) dari Jerman sedangkan di daerah Karo oleh NZG dari Belanda. Alasan pemberian nama GBKP jelas politik. Salah satu runggun, di Kampung Karo (Siantar), tidak setuju atas peubahan nama ini. Mereka sampai sekarang tetap mempertahankan nama Gereja Karo. Silahkan cek ke Siantar kalau tidak percaya.
3. Orang-orang yang tidak setuju dengan Karo bukan Batak sering menuduh orang-orang yang setuju sebagai berlatar belakang emosional. Menurut pengalaman saya, orang-orang yang menganggap Karo adalah Batak yang biasanya ngamuk tidak karuan alias emosional kalau disebut Karo bukan Batak
4. Kajian ilmiah, historis-antropologis, telah pernah saya lakukan dan dipublikasikan secara internasional dengan kesimpulan bahwa Karo bukan Batak. Silahkan Disini ini untuk membacanya.

KBB (Karo Bukan Batak) 10 Tahun Lalu



Suku Toba adalah salah satu sukubangsa di Indonesia yang mobilitasnya sangat tinggi, dominan dan vokal tetapi sangat praktis, sehingga duniapun mengenal mereka hanya sebagai Batak. ‘Batak-batak’ lain harus menjelaskan identitas mereka dengan susah payah, dengan tambahan keterangan yang tidak dimengerti dan membosankan atau kadang-kadang juga ’meyakinkan’ pendengarnya, dengan sambutan ‘oo ya, saya baru ngerti, selama ini saya taunya cuma . . .’ dst, karena mereka belum pernah mengenal ‘batak lain’ selain Batak.
Bagi ‘Batak lain’ kalau mengaku dirinya orang Batak, harus menerima nasibnya, identitas sukunya tertutupi atau tidak akan pernah dikenal dunia luar, atau terpaksa memperkenalkan dengan penjelasan yang cukup panjang.
Selama Suku Karo, Simalungun, Mandailing atau Pakpak mengaku dirinya ‘Batak’, selama itu pula dunia luar tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena sudah mengenal ‘Batak’, dan selama itu pula identitas mereka tertutup tidak dikenal dunia luar. Tidak ada yang bisa disalahkan selain suku-suku itu sendiri kalau mereka tidak dikenal oleh dunia luar atau yang dikenal hanya ‘Batak’. Memakai istilah ‘Batak’ atau memperkenalkan identitas suku sendiri tanpa mengikatkan diri dengan definisi antropologi lama diatas, sehingga lebih meringankan usaha pengenalan identitas dari dunia luar, artinya dalam rangka pencerahan.
Pencerahan adalah syarat penting perdamaian dan perubahan, dan seterusnya adalah syarat penting perkembangan alias kemajuan. Pencerahan yang dilancarkan oleh Perkoeah dan sendra-tari Tartar Bintang di Eropah membawakan dan memperkenalkan budaya suku Karo, telah mengakibatkan MINAT TERHADAP KARO MENINGKAT DRASTIS DI EROPAH (baca di Sora Mido) dan etnis Karo terhitung dan terlihat sederajat denga etnis-etnis lainnya.
Di Pulau Jawa masih sering terdengar ‘Batak Halus’, ‘Batak Jawa’, atau terakhir ‘Batak Solo’. Orang-orang yang dimaksud disini kebanyakan adalah orang-orang Karo tidak perlu ada keraguan. Tetapi dengan istilah-istilah demikian tentu ada pengertian sebaliknya yaitu ‘Batak Kasar’. Ini semua menggambarkan pengetahuan dibalik ‘the veil of ignorance’, dibelakang ’tabir kebodohan’ atau ketidaktahuan.
Ini bukan hanya di Jawa, tapi bahkan ke luar negeri. Masa 59 tahun merdeka masih belum cukup untuk membuka tabir kebodohan. Bagi kebanyakan orang Karo, jalan yang paling ringan dan praktis ialah: ‘KARO adalah KARO, BATAK adalah BATAK. KARO dan BATAK adalah dua suku yang berbeda’, konkrit dan jelas, dan kalau tidak mengerti atau mau tahu lebih jauh belajar sendirilah. Saya adalah Karo dan Suku Karo ada, dan bisa dipelajari terpisah dari adanya suku lain.
Orang Toba tetap mempertahankan ‘Batak’, harus ada respek dari yang lain. Dan jika yang lain tidak memakai ‘Batak’ dengan alasan-alasan seperti diatas, juga harus ada respek yang sama. Disinilah ‘perpisahan’ atau perbedaan. Pengakuan, respek dan penghargaan terhadap perbedaan atau ‘perpisahan’, adalah prasyarat atau permulaan kebersamaan. Tidak ada syarat lain yang mungkin dan mampu melahirkan simpati, dan simpati sesama warga, itulah yang melahirkan kebersamaan atau kerjasama yang mungkin.
Kalau kita mengatakan Karo bukan Batak, tentunya ada alasan yang kuat yang mendukungn pendapat itu. Yang jelas, dari segi adat istiadat ada persamaan (titik singgung) antara Karo dengan Batak. Perbedaannya pun tentu saja ada.
Hal ini perlu kita kaji secara lebih mendalam. Kalau kita hanya mengatakan Karo bukan Batak tanpa ada argumentasi kulutral yang kuat, bisa jadi tesis itu hanya bertitik tolak dari rasa tidak suka kalau Tapanuli (dugaan) mengganggap dirinya atau kita anggap sebagai “big brother”. Dan bisa jadi, anggapan itu sangat subyektif.
Sekarang (2013) kita masih membicarakan KBB, tetapi semua kita bisa merasakan sendiri bagaimana perbedaannya 10 tahun lalu, sikap kita dan cara kita mengangkat dan menganalisa persoalan KBB. Sangat banyak peningkatan menurut penglihatan saya di milis ini. Dulu kita masih mau mencari jawaban, sekarang bukan tingkat itu lagi, kita telah banyak mengembangkan dan memastikan persoalannya sehingga bangsa-bangsa lain pun tak ragu lagi bahwa Karo dan budayanya, filsafat dan dialektikanya yang sudah relatif tinggi sudah ada sejak 7400 th lalu.

Suku Karo Ditipu


Oleh MU Ginting
“Ketika saya baca sebuah dokumen Departemen Sosial yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo ada proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Desa Kuta Kendit, Kecamatan Mardingding, saya pun terkejut. Sebagai orang Karo, saya bertanya dalam hati: apakah ada masyarakat terasing dalam masyarakat kami?” (Masri Singarimbun, Gatra 1996)
hutanHutan Karo Tempo Dulu (Karosiadi.blogspot.com)
Karo ditipu disiang bolong. Begitulah kesan saya ketika baca-baca di Facebook Jamburta Merga Silima (JMS). Brandy Karo Sekali mempostingkan cuplikan dari Gatra 1996 soal kekecewaan Masri Singarimbun atas ‘pencetusan’ secara tiba-tiba dan disiang bolong dimana desa Lau Pengkih/Lau Kendit Karo kecamatan Mardinging dinyatakan sebagai daerah tertinggal dan terisolasi. Pencetusnya (organisatornya, terutama orang Batak) dapat duit dari pusat dan dapat jatah pembagian tanah yang aslinya adalah tanah ulayat orang Karo di kabupaten Karo, dibagikan seenaknya tanpa persetujuan atau sepengatahuan pemilik tanah ulayat.
Duit sudah dibagikan dari pusat dan orang-orangnya sudah disiapkan untuk dipindahkan ke Lau Pengkih sebagai pemilik tanah rampasan itu, mayoritas orang Batak, suku lainnya hanya sebagai pelengkap atau embel-embel, perencanaan mana pastilah sudah diatur secara rapi sebelumnya. Seperti biasanya, tidak ada kecerobohan dalam ethnic competition yang vital dan fatal seperti ini. Disini terpenting ialah politik orang Batak menguasi tanah/daerah orang Karo (ethnic competition), seperti di tempat-tempat lain misalnya di Dairi Karo.
Konsep ‘daerah tertinggal’ digunakan Orba beri kesempatan luas kepada orang asing untuk exploitasi SDA negeri ini, tetapi orang Batak memanfaatkan ethnic competition untuk mengambil alih tanah orang Karo, dengan memanfaatkan peluang yang sangat cocok ketika itu.
“Konsep ini memberi peluang kepada investor untuk melakukan investasi di sana, terutama yang MEMBUKA daerah itu dari keterisolasian (menebang hutan, bangun jalan untuk mengangkut hasil bumi, membuka perkebunan dll). Segala investasi yang membuat daerah itu TERBUKA harus disambut positip oleh semua pihak. Adi la mendukung, antik bedil.” (Juara Ginting)
Tahun-tahun 1965-1966-1967 dan seterusnya sampai reformasi adalah tahun-tahun ‘mengerikan’ bagi suku Karo, penindasan dan penekanan politis yang tak ada bandingannya. Bupati Karo dan gubsu digantikan oleh orang Batak/Mandailing. Kabupaten Karo dikuasai oleh orang Batak, sebagai bupati Baharuddin Siregar dan Gubsu Marah Halim Harahap. Semua klop. Kuta Pengkih jadi daerah terisolasi dan terasing. Cari duit dan cari tanah, rencana sudah matang. Disini terpenting adalah tanah bagi orang Batak dalam rangka ‘asak-asak lembu’ nya. ‘Orang Karo sama sekali tak mengerti’ kata Juara Ginting. Baharuddin Siregar (bupati Karo) apalagi Gubsu pasti mengerti atau malah bisa mengatur semua prosesnya sehingga bisa jalan begitu mulus dan tak ada atau tak perlu ada orang Karo yang mengerti.
Kekuasaan Panglima Djamin Ginting dan Gubsu Ulung Sitepu berakhir. Orang Karo sibuk dengan nasibnya. Tahun-tahun permulaan era Orba dimulai dengan semua kekejamannya termasuk dan terutama atas rakyat Karo dan Suku Karo yang sangat soekarnois dan juga banyak marxis dan umumnya juga tak beragama import. Karo jadi sasaran yang pasti dan empuk bagi diktator fasis militer Soeharto. Lau Biang berwarna merah malam hari, pencidukan dan pembinasaan orang-orang Karo yang dicap ’pengkhianat bangsa’ atau kafir, serta menggasak tanah ulayatnya seperti Lau Pengkih dengan berbagai cara dan menggunakan kekuasaan yang ada (Karo sudah tak berkuasa apa-apa, termasuk daerah Karo sendiri dikuasai orang Batak dan Sumut dikuasai orang Mandailing yang dalam soal Lau Pengkih pro Batak. Desa Lau Pengkih sudah dikuasai orang Batak dan pengikut-pengikutnya. Karo kehilangan daerah, untuk selama-lamanya. Keadilan atau ketidakadilan berlaku lama dan berjangka panjang. Tetapi keadian akan ditegakkan satu waktu!
Penipuan atas suku Karo, pemindahan hak atas tanah ulayatnya di desa Lau Pengkih sekitarnya tanpa sepengetahuan orang Karo sendiri berjalan mulus tanpa gangguan apa-apa. Tentu dibawah pengawasan bupati Karo orang Batak Burhanuddin Siregar dan tak diragukan juga atas restu orang Mandailing gubsu Marah Halim Harahap, atau mungkin juga kedua orang ini mengetahuinya terlambat, tetapi tak mengetahui sama sekali adalah tak mungkin. Orang Batak dapat duit dan dapat tanah subur. Orang Karo tinggal gigit jari kehilangan tanah ulayatnya. Apakah orang Karo akan membiarkan begitu saja soal Lau Pengkih untuk selama-lamanya? Keadilan tadi, HARUS DITEGAKKAN!
“Percayalah, jangan berharap sebuah kesejahteraan dan demokrasi dapat menyeluruh jika tidak menghadirkan keadilan,” pungkas Abraham Samad ketua KPK beberapa hari yang lalu. Keadilan harus dihadirkan, atau ditegakkan. Karo berjuang demi keadilan.

Karo Kuno Berusia 3500 Tahun


Penemuan kerangka manusia purba di Kebayaken
Penemuan kerangka manusia purba di Kebayaken
Kajian ilmiah bahwa Karo Bukan Batak (KBB) sudah teruji, hal tersebut dapat dilihat dari penemuan empat kerangka manusia purba yang berasal dari masa 3000 hingga 4.400 tahun yang lalu di Loyang Mandale, Loayang Ujung Karang, Kecamatan Kebayaken, Aceh Tengah.
Penemuan kerangka manusia berusia ribuan tahun tersebut menguatkan bahwa warga Karo di Sumatera Utara identik dengan masyarakat Gayo di Aceh Tengah. DNA (asam deoksiribonukleat) tiga kerangka sama dengan DNA warga Gayo berdasarkan penelitian Eijkman pada 2012. Adapun satu kerangka berasal dari Austronesia-India.
Peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, di Medan, Selasa (4/3/2013) seperti yang dikutip dari harian Kompas, edisi Sabtu 8 Maret 2014, Halaman 23, mengatakan, migrasi warga Gayo ke Karo terjadi melalui punggung Bukit Barisan.
Menurut Ketut, Karo berbeda dengan Batak Toba. Berdasarkan penelitiannya, temuan arkeologi di Samosir baru berumur ratusan tahun. Ini menunjukkan Batak Toba belakangan datang dibandingkan dengan warga Karo kuno yang telah berusia lebih dari 3500 tahun. Meski demikian, Batak Toba diduga memiliki kebudayaan yang lebih tinggi sehingga masyarakat sekelilingnya terpengaruh.
Dengan penemuan ilmiah ini termasuk yang terkuat mengakhiri kontradiksi antara “karo adalah batak” kontra “karo bukan batak”. Kontradiksi baru (syntesis) akan muncul untuk menggantikan yang lama, tetapi masih belum terlihat bentuknya yang konkret. Dengan matinya kontradiksi ini apakah masih ada etnis yang merasa perlu mengaku dirinya “batak”?
Mengingat “batak” adalah sebagai organisasi, sehingga dalam waktu yang dekat kelihatannya masih akan dipakai oleh orang Toba yang mengaku Batak. Bisa juga dimengerti bahwa dalam persaingan etnis, senjata yang sudah kurang mantap atau sudah mati daya pengaruhnya akan berangsur hilang atau tak dipakai lagi.
Disamping itu arus utama perkembangan dunia yang mendominasi abad 21 ini adalah ‘Perbedaan’, terutama dari segi budaya/kultur (The Clash of Civilization, Huntington) atau The Clash of Emotion, Moisi). Multikulturalisme, internasionalisme, “satu nusa satu bangsa”, “persatuan dan kesatuan”, dan sebagainya hanyalah tinggal nama.

Mengapa Nama Gereja Karo GBKP?


Mengingat begitu banyaknya pertanyaan tentang mengapa nama gereja orang Karo adalah Gereja Kristen Batak Protestan (GBKP), dimana pada nama tersebut memiliki ‘label’ Batak, maka terkait pertanyaan tersebut, salah seorang penggiat gerakan Karo Bukan Batak (KBB), Juara R Ginting di grup Facebook Jamburta Merga Silima memberikan jawaban sebagai berikut:
Pertanyaanya: Kalau memang benar Karo bukan Batak, maka mengapa nama gereja orang Karo adalah Gereja Batak Karo Prostestan (GBKP)?
Jawab: Ketua Moderamen GBKP yang pertama (1941), J. van Muilwijk, memang berasal dari Belanda. Akan tetapi, pada saat itu, dia bekerja bukan untuk Nederlands Zendeling Genotschap (NZG) (Organisasi Missi Belanda), tapi melainkan, untuk Reinisch Mission Gemenshaft (RMG) (Organisasi Missi Jerman). Saat itu, dia mengepalai HKBP di Simalungun. Karena Belanda telah dikuasai Jerman pada saat itu (Perang Dunia II), maka HKBP yang dikelola oleh RMG juga mengambilalih managemen Gereja Karo dari NZG dan menggantinya menjadi GBKP pada Sidang Sinode GBKP yang pertama itu (1941) di Sibolangit. Jadi, nama GBKP itu baru muncul PADA TAHUN 1941.
Jangan lupa, pengkristenan orang Karo dianggap proyek gagal. Missionaris pertama, H.C. Kruyt sudah menyatakan bahwa orang-orang Karo tak mungkin dikristenkan. Karena dia dianggap gagal oleh penyandang dana, yaitu Deli Maschapij, maka dia dipulangkan dan diganti dengan missionari lain. Begitupun, tetap saja sedikit sekali orang Karo menjadi Kristen. Bahkan, sebagaimana beberapa sejarawan dan antropolog mencatatnya, hingga tahun 1960an, orang-orang Karo sangat anti segala yang berbau Barat (baik gereja maupun sekolah). Baru setelah peristiwa G30S 1965, banyak orang Karo masuk agama karena takut dituduh komunis. Menurut data dari seorang pendeta Jerman yang pernah bekerja untuk GBKP, Grothuis (seorang putrinya Almut Grohuis bekerja sangat lama untuk Yayasan Alpha Omega GBKP di tahun 1990an), pada tahun 1967, hanya sekitar 11 koma sekian persen orang Karo beragama.
Kedatangan Pdt. Grothuis ke GBKP adalah babak baru lagi bagi GBKP untuk bekerjasama dengan RMG Jerman. Grothuis dikirim ke Indonesia awalnya adalah untuk bekerja di HKBP. Karena konflik di dalam HKBP maka dia ditolak untuk bekerja di sana. Dia mendatangi GBKP dan diterima oleh GBKP. Dialah yang kemudian membawa babak baru kerjasama GBKP dengan RMG khususnya melalui Lemgo dan Wupertal. Kebetulan saja saya pernah diminta oleh Museum Lemgo untuk berceramah di sana dan dari seorang yang mendatangi saya setelah ceramah itu saya mendapat informasi bagaimana sejarah kerjasama antara Lemgo dan Alpha Omega yang yang kebetulan pula dibidani oleh mama nguda saya pula. Sewaktu kita-kita dari Belanda mengunjungi mama Pdt. MP Barus di Wupertal sempat pula berbicara lewat telepon dengan Pdt. Grothuis dalam bahasa Karo dan tak lama setelah itu dia meninggal dunia. Saya sempat lama bekerjasama dengan putrinya dalam pembuatan video acara-acara Alpha Omega. Inti penuturan saya, sejak adanya hubungan erat antara GBKP dengan RMG maka hubungannya dengan NZG sepengamatan saya semakin renggang.

Bahasa Karo dan Toba Tidak Nyambung


Walau sama-sama dipangil BATAK tapi Suku Karo dan Toba memilki terlalu banyak perbedaan. Khususnya perbedaan bahasa. Dalan banyak hal perpotongan bahasa keduanya sangat signifikan bahkan pengertiannya dapat mengakibatkan salah faham.
Contoh saja: Kalau mengatakan Iya atau Ya kalau Karo mengatakan UWE sedangkan Toba mengatakan OLO.
Contoh kesalahan dalam komunikasi: Seorang Karo menerima telepon dari seorang Toba. Kring-kring… Lalu diangkat oleh seorang Karo dan kemudia sipenelepon (Toba) bertanya dalam bahasa daerahnya: ISE DOON, artinya siapa ini, Namun dalam bahasa Karo itu dapat diartikan SIAPA YG GILA, karena ISE = siapa, Doon (Adoon) = Gila dalam bahasa KAro. Artinya ngak nyambung bung.
Contoh Kedua dalam bahasa Karo orang mengatakan MAU KEMANA = KUJA KAM EE, Namun dalam bahasa Toba NATU DIA HO. Dalam bahasa KARO, NATU itu adalah KEMALUAN LELAKI (PENIS).
Kota Galang Deli Serdang Sumut
Kota Galang Deli Serdang Sumut
Kalau ada dua orang Toba dan satu orang Karo yang tak saling kenal dalam sebuah BUS, dari satu tujuan misalnya dari PANTAI CERMIN menuju kota GALANG (LIHAT PETA DISEBELAH). Lalu  setelah berkenalan seorang Toba bertanya kepada seorang Toba yang lain, dalam bahasa Toba: NATU DIA HOO (MAU KEMANA KAMU), lalu dijawab seorang teman Toba itu: NATU GALANG (MAU KEGALANG). Namun dalam arti bahasa KARO, NATU GALANG itu adalah Kemaluan lelaki yang besar (PENIS BESAR). NATU = PENIS; GALANG = BESAR. Hahahaha betapa lucunya kedua suku ini.
Artinya perbedaan itu sangat mencolok dan dapat diartikan bahwa Karo dan Toba itu sedari nenek moyangnya sudah berbeda, sehingga bahasanya juga berbeda. Namun mengapa dapat dikelompokan menjadi sesama BATAK. Jadi leluconya bukan saja  keanehan dalam perbedaan bahasa diatas, leluconnya juga mengapa Karo dan Toba bisa dikelompokkan sama-sama batak……………Hahahahaha  Ini pasti kerjaan Penjajah Belanda…………dasar penjajah.
Karena menurut sejarahnya ketika Belanda menyebarkan agama Kristen ke Karo mereka banyak memanfaatkan tenaga orang-orang Toba, sehingga mereka memaksakan Karo dalam sebutan sesama Batak. Karo sendiri diyakini keturunan dari percampuran India, Aborizin Taiwan, sehingga Karo memilki suku-suku beristilah  India, seperti Brahma dan Colia. Sebagian Karo pada awalnya beragama Hindu dan melakukan pembakaran mayat dan bukan di kubur. Batak sendiri artinya adalah  sesuatu yang negatif yang bandal, sulit diatur, kanibal dll, sehingga pengelompokan ini menjadi sebuah lelucon dalam arti yang luas.
Mari kita tertawa karena ini adalah lelucon sejarah.