Penemuan kerangka manusia berusia ribuan tahun tersebut menguatkan bahwa warga Karo di Sumatera Utara identik dengan masyarakat Gayo di Aceh Tengah. DNA (asam deoksiribonukleat) tiga kerangka sama dengan DNA warga Gayo berdasarkan penelitian Eijkman pada 2012. Adapun satu kerangka berasal dari Austronesia-India.
Peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, di Medan, Selasa (4/3/2013) seperti yang dikutip dari harian Kompas, edisi Sabtu 8 Maret 2014, Halaman 23, mengatakan, migrasi warga Gayo ke Karo terjadi melalui punggung Bukit Barisan.
Menurut Ketut, Karo berbeda dengan Batak Toba. Berdasarkan penelitiannya, temuan arkeologi di Samosir baru berumur ratusan tahun. Ini menunjukkan Batak Toba belakangan datang dibandingkan dengan warga Karo kuno yang telah berusia lebih dari 3500 tahun. Meski demikian, Batak Toba diduga memiliki kebudayaan yang lebih tinggi sehingga masyarakat sekelilingnya terpengaruh.
Dengan penemuan ilmiah ini termasuk yang terkuat mengakhiri kontradiksi antara “karo adalah batak” kontra “karo bukan batak”. Kontradiksi baru (syntesis) akan muncul untuk menggantikan yang lama, tetapi masih belum terlihat bentuknya yang konkret. Dengan matinya kontradiksi ini apakah masih ada etnis yang merasa perlu mengaku dirinya “batak”?
Mengingat “batak” adalah sebagai organisasi, sehingga dalam waktu yang dekat kelihatannya masih akan dipakai oleh orang Toba yang mengaku Batak. Bisa juga dimengerti bahwa dalam persaingan etnis, senjata yang sudah kurang mantap atau sudah mati daya pengaruhnya akan berangsur hilang atau tak dipakai lagi.
Disamping itu arus utama perkembangan dunia yang mendominasi abad 21 ini adalah ‘Perbedaan’, terutama dari segi budaya/kultur (The Clash of Civilization, Huntington) atau The Clash of Emotion, Moisi). Multikulturalisme, internasionalisme, “satu nusa satu bangsa”, “persatuan dan kesatuan”, dan sebagainya hanyalah tinggal nama.
0 komentar:
Posting Komentar