“Ketika saya baca sebuah dokumen Departemen Sosial yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo ada proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Desa Kuta Kendit, Kecamatan Mardingding, saya pun terkejut. Sebagai orang Karo, saya bertanya dalam hati: apakah ada masyarakat terasing dalam masyarakat kami?” (Masri Singarimbun, Gatra 1996)
Karo ditipu disiang bolong. Begitulah kesan saya ketika baca-baca di Facebook Jamburta Merga Silima (JMS). Brandy Karo Sekali mempostingkan cuplikan dari Gatra 1996 soal kekecewaan Masri Singarimbun atas ‘pencetusan’ secara tiba-tiba dan disiang bolong dimana desa Lau Pengkih/Lau Kendit Karo kecamatan Mardinging dinyatakan sebagai daerah tertinggal dan terisolasi. Pencetusnya (organisatornya, terutama orang Batak) dapat duit dari pusat dan dapat jatah pembagian tanah yang aslinya adalah tanah ulayat orang Karo di kabupaten Karo, dibagikan seenaknya tanpa persetujuan atau sepengatahuan pemilik tanah ulayat.
Duit sudah dibagikan dari pusat dan orang-orangnya sudah disiapkan untuk dipindahkan ke Lau Pengkih sebagai pemilik tanah rampasan itu, mayoritas orang Batak, suku lainnya hanya sebagai pelengkap atau embel-embel, perencanaan mana pastilah sudah diatur secara rapi sebelumnya. Seperti biasanya, tidak ada kecerobohan dalam ethnic competition yang vital dan fatal seperti ini. Disini terpenting ialah politik orang Batak menguasi tanah/daerah orang Karo (ethnic competition), seperti di tempat-tempat lain misalnya di Dairi Karo.
Konsep ‘daerah tertinggal’ digunakan Orba beri kesempatan luas kepada orang asing untuk exploitasi SDA negeri ini, tetapi orang Batak memanfaatkan ethnic competition untuk mengambil alih tanah orang Karo, dengan memanfaatkan peluang yang sangat cocok ketika itu.
“Konsep ini memberi peluang kepada investor untuk melakukan investasi di sana, terutama yang MEMBUKA daerah itu dari keterisolasian (menebang hutan, bangun jalan untuk mengangkut hasil bumi, membuka perkebunan dll). Segala investasi yang membuat daerah itu TERBUKA harus disambut positip oleh semua pihak. Adi la mendukung, antik bedil.” (Juara Ginting)
Tahun-tahun 1965-1966-1967 dan seterusnya sampai reformasi adalah tahun-tahun ‘mengerikan’ bagi suku Karo, penindasan dan penekanan politis yang tak ada bandingannya. Bupati Karo dan gubsu digantikan oleh orang Batak/Mandailing. Kabupaten Karo dikuasai oleh orang Batak, sebagai bupati Baharuddin Siregar dan Gubsu Marah Halim Harahap. Semua klop. Kuta Pengkih jadi daerah terisolasi dan terasing. Cari duit dan cari tanah, rencana sudah matang. Disini terpenting adalah tanah bagi orang Batak dalam rangka ‘asak-asak lembu’ nya. ‘Orang Karo sama sekali tak mengerti’ kata Juara Ginting. Baharuddin Siregar (bupati Karo) apalagi Gubsu pasti mengerti atau malah bisa mengatur semua prosesnya sehingga bisa jalan begitu mulus dan tak ada atau tak perlu ada orang Karo yang mengerti.
Kekuasaan Panglima Djamin Ginting dan Gubsu Ulung Sitepu berakhir. Orang Karo sibuk dengan nasibnya. Tahun-tahun permulaan era Orba dimulai dengan semua kekejamannya termasuk dan terutama atas rakyat Karo dan Suku Karo yang sangat soekarnois dan juga banyak marxis dan umumnya juga tak beragama import. Karo jadi sasaran yang pasti dan empuk bagi diktator fasis militer Soeharto. Lau Biang berwarna merah malam hari, pencidukan dan pembinasaan orang-orang Karo yang dicap ’pengkhianat bangsa’ atau kafir, serta menggasak tanah ulayatnya seperti Lau Pengkih dengan berbagai cara dan menggunakan kekuasaan yang ada (Karo sudah tak berkuasa apa-apa, termasuk daerah Karo sendiri dikuasai orang Batak dan Sumut dikuasai orang Mandailing yang dalam soal Lau Pengkih pro Batak. Desa Lau Pengkih sudah dikuasai orang Batak dan pengikut-pengikutnya. Karo kehilangan daerah, untuk selama-lamanya. Keadilan atau ketidakadilan berlaku lama dan berjangka panjang. Tetapi keadian akan ditegakkan satu waktu!
Penipuan atas suku Karo, pemindahan hak atas tanah ulayatnya di desa Lau Pengkih sekitarnya tanpa sepengetahuan orang Karo sendiri berjalan mulus tanpa gangguan apa-apa. Tentu dibawah pengawasan bupati Karo orang Batak Burhanuddin Siregar dan tak diragukan juga atas restu orang Mandailing gubsu Marah Halim Harahap, atau mungkin juga kedua orang ini mengetahuinya terlambat, tetapi tak mengetahui sama sekali adalah tak mungkin. Orang Batak dapat duit dan dapat tanah subur. Orang Karo tinggal gigit jari kehilangan tanah ulayatnya. Apakah orang Karo akan membiarkan begitu saja soal Lau Pengkih untuk selama-lamanya? Keadilan tadi, HARUS DITEGAKKAN!
“Percayalah, jangan berharap sebuah kesejahteraan dan demokrasi dapat menyeluruh jika tidak menghadirkan keadilan,” pungkas Abraham Samad ketua KPK beberapa hari yang lalu. Keadilan harus dihadirkan, atau ditegakkan. Karo berjuang demi keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar