Minggu, 14 Desember 2014

Masyarakat Karo Tidak Pernah Berkepercayaan Batak


Tanah Karo  adalah terletak mulai dari selatan tepi Danau Toba bagian Timur laut  terbentang luas ke utara samapai ke Selat Malaka  dan dari sebelah barat mulai dari perbatasan   Aceh sampai  keperbatasan Simalungun di sebelah tenggara  dan timur.
Daerahnya disebelah barat dan selatan bergunung- gunung , termasuk bagian- bagian  dari Bukit Barisan atau dataran tinggi, sedangkan bagian utara  dan timur adalah dataran rendah. Sebagai batas dari  dataran tinggi dan rendah ini terletak gunung- gunung  tinggi yaitu Gunung Sinabung ( 2451 M diatas permukaan Laut ) sebalah  barat dan Gunung Sibayak (2060 M  diatas permukaan laut) sebelah timurnya.
Perkampungan Karo di Namorambe (Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890
Sungai yang terbesar di tanah Karo ada 2 (dua) yang pertama  bernama  Sungai Wampu  yang bermuara ke Selat malaka . Sungai ini berasal dari Lau Biang (Sungai Anjing) didataran tinggi Karo dan dan yang kedua Sungai Simpang yang bermuara Singkil di lautan Indonesia  di pantai  Pulau Sumatera bagian barat Aceh selatan. Sungai ini berasal dari Lau Jandi dan Lau Bengap, Renun  menjadi Sungai Simpang kanan dan Sungai simpang kanan bergabung dengan sungai simpang kira dan hasil penggabungan ini menjadi simpang kiri (Rawe Alas) yang berasal dari dataran tinggi Tanah Karo.
Kedua muara sungai ini sangat erat sekali hubungannya dengan suku  Karo. Muara sungai Simpang adalah tempat mendaratnya  pertama kali nenek moyang orang-orang Karo, baik yang datangnya dari perbatasana Buram dan Thailand maupun yang datangnya dari Maderas India Selatan, seperti merga Sembiring Meliala  dan lainnya. Sedangkan Muara Sungai Wampu terkenal dengan  Kerajaan AROE atau AROE wampu (Kl 1200 – 1505) , sedangkan  pada priode itu di Tapanuli ada pula kerajaan Batak dengan segala kepercayaannya itu yang diperintah oleh seorang raja dengan gelar Sori (Seri), Manga (Maha besar) Raja (Raja)  berkedudukan di Sianjur Sagala Limbong Mulana (sekarang disebut tempat itu Tanjung Bunga).
Kerjaaanya orang Karo didataran rendah pantai Selat Malaka sudah berdiri selama  14 generasi. Pada Abad  ke-XIX, Tanah Karo dataran rendah ini terbagi menjadi kesultanan Langkat dan Tanah Deli, serta tanah-tanah di kedua kesultanan ini  dibagi- bagi oleh pemerintah Belanda  menjadi tanah-tanah Konsesi selama 99 tahun. Berlainan halnya dengan dataran tinggi Karo dimana daerah ini pada Abad 19  penduduknya masih hidup dialam merdeka dibawah pemerintahan setempat secara regional yakni : Sibayak- Sibayak dengan sistim Pemerintahan Adat dibawah pengaruh pemerintahan Aceh.
Pada tahun 1128, daerah dataran rendah Karo  atau lazim juga disebut  Karo Jahe,  telah masuk pengaruh agama Islam  dari Kesultanan Daya Pasae  ber-mazhab Syi”ah  Fathimiah yang berpusat dimuara Pasai Aceh, sedangkan di daerah  dataran Tinggi  Karo atau  Pegunungan pada Abad ke XIX  tersebut diatas penduduk Karo belum ada yang memeluk agama Islam, kecuali seorang  Raja dari Kerajaan JUHAR, yaitu Sebayak Kaeisar (Kaisar panggilan tenteranya, tentera jawi yang terdiri dari orang-orang Singkil, Alas dan Gayo  berasal dari daerah Aceh dan kesemuanya telah beragama Islam).
Tiga bersaudara lelaki putra dari JUHANG (panggilan JUANG) TARIGAN dan ibunya beru Sebayang dari Rumah Jahe Perbesi, bersama istrinya bernama Paras beru Sebayang dari Kuala/Singalorlau dan seaorang anaknya Sebayak Juan (Pa Jalapi). Dan inipulah latar belakang sejarah mengapa merga Tarigan Sibero dari Kerajaan Juhar ini oleh pemerintah Belanda dikucilkan karena Belanda Khuatir pengaruh Aceh yang melawan tetap ada di Kerajaan ini kemudian hari  sehingga Sibayak Kaisar adalah salah seorang sahabat dari Sultan Daut dari Kerajaan Aceh dan Sultan ini menganjurkan  supaya Sibayak Kaisar memeluk agama Islam, maka inilah orang Karo di dataran Tinggi yang pertama menjadi Islam dan meninggalkan kepercayaan agama pemena asal kata Bergu  suatu sekte agama Hindu Ciwa.
Pada permulaan  abad XX  tahun (1904-1905) seluruh dataran tinggi Karo ini peraktis telah diduduki oleh tentera Belanda dan Kapten  Coleijn menjadi penguasa perang daerah militer (Militair Gezaghebber) didataran tinggi Karo dan sebelumnya telah mengetahui keadaan raja- raja dan rakyatnya di daerah ini dan  Poortman mantan Controleur Sipirok di daerah Tapanuli diangkat menjadi Reggeringsgemachtigde Belanda  di dataran tinggi Karo dan menetapkan  Kabanjahe sebagai  ibu kota dataran tinggi ini.
Poortman dari Sipirok membawa baginda Johannes Pohan seorang guru Zending dan menerpakan menjadi manteri  Polisi  di kabanjahe dan keduanya berjasa untuk menegakkan Pax Newerlandica disamping  Law and Order di daerah ini.

0 komentar:

Posting Komentar