Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings
orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara.
Setelah Kutacane dibombardir dua pesawat pemburu Belanda, esok paginya
saya ikut kakek mengungsi ke sebuah desa sekitar 12 km dari kota. Setiap
pagi saya dan kakek ke kota dari desa pengungsian itu untuk berjualan
di pasar. Kami melewati Macan Kumbang, sebuah perkebunan karet yang
dibangun semasa Jepang. Ternyata beberapa minggu sebelum penyerangan
pesawat Belanda itu, Macan Kumbang, telah menjadi markas pertahanan
Let.Kol. Djamin Gintings, Komandan Resimen IV TNI pindahan dari tanah
Karo.
Di kota orang bercerita bahwa markas pertahanan RI itu hijrah dari Tanah
Karo ke Tanah Alas, sesuai kesepakatan Renville. Tanah Karo dianggap
sudah menjadi wilayah Belanda dan Negera Sumatra Timur (NST). Karena itu
kedudukan Kutacane menjadi penting. Kini Tanah Alas menjadi garis
pertahanan RI terdepan menghadapi Belanda. Kota kecil itu bertambah
ramai, banyak tentera dan pengungsi dari Tanah Karo dan Dairi. Mereka
sibuk mendirikan rumah-rumah darurat dan barak-barak pengungsi. Di
pinggir sungai (Lawe) Alas dan Lawe Bulan yang mengapit Kutacane, penuh
berjejer Barak pengungsi. Sampai-sampai di halaman rumah Raja Alas
(Polonas), didirikan rumah-rumah bambu yang beratap rumbia.
Malam hari, jalan satu-satunya yang membelah kota hingar bingar, motor
truk tentera hilir mudik, ada yang membawa pengungsi, pasukan tentera
dan korban yang luka tembak, sebahagian besar dari pertempuran di
sekitar Mardinding (Desa Perbatasan antara Tanah Karo dan Tanah Alas
yang menjadi markas pertahanan Belanda).
Kami melihat Djamin Gintings hanya dari kejauhan, waktu apel bendera
pagi di markas Macan Kumbang, ketika kami melintasi markas itu. Atau
waktu menghadiri perayaan nasional dan rapat umum di Lapangan Bola
Kutacane. Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin
Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara,
sedang Kol. Muhammad Din (staf Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo dari
Kutaraja). Beliau selalu berpakaian tentera Jepang lengkap dengan
samurainya. Kami sangat mengagumi mereka dan selalu bergaya seperti
komandan-komandan TNI waktu itu.
Demikianlah rona kehidupan Kutacane, kota kecil di front perbatasan
pertahanan RI dan Belanda (1947), sibuk dengan hilir mudik tentera dan
pengungsi. Kami siap-siap melompat ke lobang pertahanan yang disiapkan
dibelakang sekolah, ketika serine dan pesawat pemburu Belanda datang
memuntahkan peluru. Keadaan kota kecil yang sesak itu mulai berobah
ketika penyerahan kedaulatan (1950).
Seminar Brastagi
Waktu surat permohonan anak tertua Djamin Gintings, Riemenda Jamin
Gintings SH,MH (lahir di Kutacane) dan adiknya Dra Riahna Jamin
Gintings, M.Sc datang–agar saya memberi makalah dalam seminar Djamin
Gintings di Berastagi–untuk mengusulkan beliau sebagai Pahlawan
Nasional, saya sambut dengan baik. Di benak saya terbuhul sesuatu yang
terus menggema dari pengalaman semasa remaja di Kutacane dan
keberhasilan Djamin Gintings memepertahankan garis batas pertahanan
Indonesia-Belanda di Tanah Alas dengan melakukan perang gerilya di Tanah
Karo.
Sesuatu yang kemudian makin jelas di benak saya, sesudah saya melakukan
studi dari berbagai buku dan catatan historis auto biografi kedua
bukunya: ”Titi Bambu” dan ”Bukit Kadir,” serta dua buku standar lainnya
seperti ”Kadet Brastagi” (1981) dan ”Jendral Soedirman” (Pribadi, 2009),
saya mulai berpikir bahwa Djamin Gintings bukan sembarang hero atau
pahlawan perang kemerdekaan. Tetapi beliau telah menyelamatkan daerah
modal republik, satu-satunya di luar pulau Jawa.
Perintah Mundur
Atas perintah Kol. Hidayat Komandan Divisi X, yang berkedudukan di
Kutaradja, Djamin Gintings diperintahkan mundur ke Tanah Alas Kutacane.
Perintah ini merupakan kesepakatan RI dan Belanda yang dituangkan dalam
perjanjian Renville (1947). Dalam perjanjian itu semua wilayah Tanah
Karo dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua
pasukan TNI harus disingkirkan dari daerah itu. Djamin Gintings harus
mengosongkan seluruh wilayah Tanah Karo, walaupun sebagian besar wilayah
itu, secara de facto masih berada dalam kekuasaan republik, yaitu
daerah antara Lisang dan Lau Pakam.
Dengan perasaan perih dan pilu Djamin Gintings dan pasukannya
melaksanakan keputusn itu. Semua pasukan Resimen IV mundur ke Tanah Alas
dan pasukan Belanda dengan leluasa memasuki daerah-daerah yang
dikosongkan itu.
Jendral Soedirman selaku Panglima Besar TNI, waktu itu turut merasakan
betapa keputusan Renville itu melukai hati para prajuritnya. Sebab itu
melalui radio, beliau menyampaikan amanatnya, ”Anak-anakku anggota
Angkatan Perang, tiap-tiap perjuangan mempunyai pasang surutnya, tetapi
dengan iman kita tetap teguh dan jiwa yang tetap besar, kita masih tetap
sanggup untuk mengatasi percobaan ini dan percobaan-percobaan lainnya
yang mungkin akan menyusul lagi.”
Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman yang ditutup dengan perintah
agar TNI tetap bertanggungjawab terhadap jiwa dan harta rakyat–ternyata
mampu menghibur kekecewaan para prajurit TNI–termasuk Djamin Gintings
dan pasukannya. Dengan penuh semangat keprajuritan pasukan Resimen IV
meninggalkan kantong-kantong gerilya dan markas pertahanannya untuk
berhijrah ke Kutacane (Tanah Alas).
Dalam sejarah perang kemerdekaan, hijrah pasukan-pasukan TNI tidak hanya
di Tanah Karo tetapi juga di Jawa Barat. Pasukan Siliwangi umpamanya
harus hijrah meninggalkan Jawa Barat ke Jawa Timur (yang dikenal dengan
istilah the long march dalam film Darah dan Doa, 1952). Luas wilayah
republik sesudah perjanjian Renville yang dianggap sebagai ”daerah
modal” semakin mengecil dan secara ekonomi dan politis semakin terpojok
(Hardiyono 2000).
Di Jawa hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri,
Kedu, Madiun, sebagian Keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal, dan
bahagian Selatan Banyumas (Pribadi 2009). Sedang di luar Pulau Jawa
hanya tinggal Provinsi Aceh. Mungkin waktu itu tidak semua perajurit TNI
yang yang hijrah ke Kutacane, menyadari betapa pentingnya Daerah Modal
Aceh untuk dipertahankan, terutama apabila dilihat dari strategi
geopolitik nasional dan internasional.
Mengobarkan Perang Grilya
Setelah Macan Kumbang di Kutacane dibangun sebagai markas resimen dan
persiapan logistik, permukiman keluarga diselesaikan, maka pembangunan
teritorial bersama pejabat pemerintahan Tanah Alas segera dilaksanakan
oleh Djamin Gintings. Beliau masuk dan keluar kampung sampai kepelosok
Tanah Alas, bertemu dengan Penghulu Kampung (Kepala Desa). Di benak
beliau berkecamuk pemikiran, kalau Belanda menyerbu dan menduduki
Kutacane, mampukah Resimen IV mempertahankan Tanah Alas dengan
mengembangkan perang grilya? Pertanyaan itulah yang hendak beliau jawab.
Tetapi, pada tgl. 22 Desember 1948, malam harinya Djamin Gintings
mengumpulkan semua perwira stafnya, dan semua Komandan Batalion. Rapat
semalam suntuk sampai pagi hari itu membahas : (1) Apakah Tanah Alas
mampu dipertahankan sampai tetes darah terakhir dengan cara militer
konvensional, sementara persenjataan yang tidak seimbang dan persediaan
amunisi yang terbatas pula, atau (2) TNI melakukan segera serangan
terhadap kedudukan Belanda di Tanah Karo, berarti melanggar garis
statusquo walaupun dengan cara bergrilya dengan perlengkapan seadanya?
(Kadet Brastagi, 1981)
Kedua pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab. Apabila Belanda
menyerang secara frontal Tanah Alas, dengan peralatan yang modern
(panser, tank, pasukan berkuda/logistik) serta backing pesawat tempur,
maka Kutacane pasti dapat segera diduduki Belanda. Ketika Tanah Alas
jatuh ke tangan Belanda, maka Blang Kejeren, Singkel dan Aceh Selatan
akan terancam pula. Daerah belakang Aceh ini, merupakan titik-titik
lemah pertahanan Provinsi Aceh. Memang pertahanan Aceh bagian Timur dan
sepanjang rel kereta api cukup kuat dan solid. Karena itu pula, waktu
ada usul mengganti Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV yang
pindah ke Kutacane dengan Kol. Muhammad Dien. Tapi Gubernur Militer Aceh
dan Tanah Karo waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh tidak setuju dan tetap
mempertahankan Djamin Gintings. Tanah Karo dan Djamin Gintings tidak
mungkin dipisahkan, sedangkan Tanah Karo merupakan bumper (penyangga)
daerah belakang Provinsi Aceh yang menjadi modal republik.
Keesokan hari, sekitar jam tujuh pagi setelah perundingan di markas
Macan Kumbang itu, pesawat tempur Belanda kembali memuntahkan pelurunya
kearah pertahanan Djamin Gintings. Anehnya, Let.Kol. Djamin Gintings,
seakan mendapat isyarat dari serangan udara itu untuk bertindak cepat.
Tanpa meminta persetujuan Komandan Divisi (Kol.Hidayat di Kutaraja),
beliau memutuskan untuk segera menyerang Mardinding dan Lau Balang.
Keduanya adalah pos terdepan Belanda di Tanah Karo yang berbatasan
langsung dengan Aceh (Tanah Alas).
Keputusan merebut kedua benteng Belanda ini, bertepatan pula dengan
siaran radio yang menyatakan Belanda telah menyerbu dan menduduki
Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden RI kemudian ditawan. Dalam
pidato singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Gintings sebagai
Komandan Resimen IV, terus terang menyatakan bahwa ” …memang saya belum
mendapat perintah dari Komandan Divisi … tetapi demi keselamatan Negara
RI saya akan memikul tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah
yang diduduki Belanda itu …”
Penyerangan mendadak dan berani yang dilakukan Djamin Gintings ini,
memang di luar dugaan Belanda, sehingga Belanda kucar-kacir
mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan
senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik
militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda
dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan
peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang
menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil
direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan
diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin
Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings
mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan
menghindar)–selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak
Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949),
perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo,
dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai
penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara
utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar
pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS.
Djamin Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang
berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia
internasional. Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.
0 komentar:
Posting Komentar