Minggu, 14 Desember 2014

Mengenal Masyarakat Karo Bukan Batak


Jikalau diteliti, disetiap penerbitan buku, pasti mempunyai maksud dan tujuan (untuk itu harus disimak secara mendalam, jangan terkecoh terutama mengenai masyarakat karo, dan bagaimanapun kejadiannya kita sendiri sebenarnya yang merasakannya  sebagai orang karo, sedangkan penerbit dan pengarang buku tersebut bukan orang Karo, manalah mungkin dia memahaminya secara mendalam dan dipastikan hanya bagian luarnya saja. Selain itu apa yang melatar belakangi pembuatan buku itu sendiri tentunya ada maksud tujuan tertentu, mau diarahkan kemana benak yang membacanya sehingga persepsinya  menjadi lain dalam mengenal Masyarakat karo yang dia uraikan tersebut, sesuai dengan yang hendak dia ingin paparkan).
Dapat kta rasakan dampaknya bahwa sampai saat ini dimanapun kita berada bagi masyarakat Indonesia sampai ke jajaran pemerintahan sampai kepucuk pimpinan Pusat sapaan kepada kita orang karo disapa sebagai Orang Batak. bahkan dilingkungan   Legeslatif oleh penjabat-penjabat pemerintah sapaan itu selalu muncul.
Tidak cuma sampai disitu, namun pada bidang pendidikan, bertemu para pendidik/guru- guru, maka ternyata di sapanya juga kita sebagai orang Batak, di RT/RW kantor-kantor lainnya. Mereka tidak mengenal Orang Karo. Saya tidak merasa ploong dengan sapaan itu, akan tetapi merupakan kenyataan bahwa Kebudayaan Masyarakat Karo, bahasa Karo, Aksara Karo, Merga- Merga SILIMA di Karo, Sastra Karo, Jenis Pakaian Karo, Lagu- lagu Karo, Makanan Khas Karo, Adat Istiadat karo, Salam Mejuah- juah dari karo masih sangat kurang dikenal masyarakat suku- suku lain di Indonesia, bahkan  penulis serta peneliti Eropa, Amerika, dan Asia juga demikian.
Maafkan saya, tidak perlu masyarakat Karo sakit hati dan malu, akan tetapi mengapa demikian ironisnya? Mengapakah orang Karo didalam masyarakat Indonesia sama seperti halnya daun sirih tak bertangkai? Dalam ikatan ia berada  di dalam, tetapi tidak masuk dihitung, sebab  tak bertangkai. Istilah dalam bahasa Karo disebut “BAGI BELO LA ERTANGKE”.
Untuk itu timbul pertanyaan lebih jauh, mengapakah selama ini dari tahun 1900-an penjajah datang, ke  Karo, sampai tahun 2011 ini, masih saja sebutan kepada orang Karo sebagai orang Batak?. Benarkah orang Karo itu  mempunyai religi BATAK?  Apakah masyarakat menyadari  bahwa agama Kristen itu diturunkan melalui/ memakai bahasa pengantarnya  bahasa Ibrani? Agama Islam diturunkan  memakai bahasa ARAB ?
RELIGI BATAK itu memakai  bahasa pengantarnya bahasa Batak? Sejak datangnya sampai kini di Pusuk Buhit, UGAMO  MALIM atau PARMALIM (BATAK?)  adalah kepercayaan. Apakah masyarakat Karo dan luar Karo memahami bahwa masyarakat Karo di dataran tinggi ,maupun  masyarakat Karo di dataran rendah belum pernah  memeluk RELIGI BATAK?
Siapakah yang menyapa dan menyebut masyarakat Karo itu sebagai  Batak Karo?  Mengapakah  dalam bahasa asing  ada organisasi  keagamaan  menyebut wadahnya Batak Karo  Bata,s  atau dalam bahasa Indonesia Batak Karo? Benarkah para peneliti, pengarang, penulis menyakini akan tulisannya pada karyanya itu bahwa bahasa Toba hanya lain logat dengan bahasa Karo ? Demikian pula alat kelengkapan buah akalnya  dalam  kebudayaan cukup jauh bedanya, akan tetapi mengapa suka disama-sama kan?
Dari mana asal muasal Karo? Apakah menurut etimologi bahasa oleh peneliti dari Eropa, Amerika, Asia, dan Pribumi? Betulkah penulisan dalam buku antropologi bahwa Batak itu sebuah Suku Batak? atau Ras? Apakah  dasarnya disebutkan Suku Batak terdiri dari Sub Suku, yaitu Suku Karo, Toba,  Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing ?
Apakah benar Suku  Batak itu terdiri dari banyak logat-logat bahasa, yaitu logat Karo, logat Toba, logat Pak pak, logat Simalungun, logat Angkola, dan logat Mandailing?
Benarkah hanya perbedaan logat? Bukankah ini merupakan sebuah perbedaan bahasa? Pernahkah diuji kebenarannya bahwa ini hanya cuma perbedaan logat-logat saja? Disadarikah oleh masyarakat luas bahwa bahasa Karo adalah  bahasa kesatuan orang karo terdiri dari logat Gunung/Karo Jahe, logat Kenjulu, logat Jahe-jahe ?
Ketiga logat dalam  bahasa Karo ini, jika diuji didalam satu pesta adat perkawinan yang rumit dan unik, maka mereka akan tetap memakai bahasa Karo  dengan logat-logat yang berbeda. Namun dalam suatu pesta perkawinan seorang Karo dengan seorang Toba , atau dengan seorang Mandailing, atau Pak-Pak, atau seorang Simalungun atau seorang dari Angkola  merundingkan emas kawin dalam sebuah adat? Mungkin kacau balau? Penulis belum pernah mendengarnya, tetapi perkawinan itu sudah ada dan disaksikan ternyata mereka memakai bahasa Indonesia dan bukan bahasa Batak.
Mengapa demikian? Bukankah hal ini suatu bukti bahwa bukan cuma perbedaan logat diantara bahasa Karo, Toba, Simalungun, Pak-Pak, Angkola, dan Mandailing? Akan tetapi benar perbedaan bahasa yang tidak saling mengerti. Karena perbedaan bahasa  tersebut agar tidak merusak jalannya musyawarah pada sebuah pesta, maka dipakailah bahasa Indonesia
Jika yang mengerti satu tiga orang,itu bukan ukurannya. Sama juga kalau ada satu dua kata bahasa serupa, bukan ukuran satu ras, demikian juga nama. Masalah itulah sebenarnya mendorong hati nurani kita di Group SAPO HOLLAND ini  untuk mendalaminya  dalam segala informasi untuk diambil sari patinya, sehingga dapat melestarikan Kebudayaan kita orang Karo “bagi oratna” dan diharapkan dapat menjadi bermakna bagi seluruh masyarakat Karo dimanapun dia berada.
Melalui Group SAPO HOLLAND yang notebene berada pada situs jejaring sosial Facebook ini dan bisa diakses sedemikan rupa dari mana saja, sehingga  orang karo semakin dapat dikenal oleh masyarakat dunia. Saya bertanya, karena ada sementara orang yang menyamakan “Dalihan Na Tolu” dengan “Rakut Sitelu”.
Jika diteliti, Dalikan  di rumah asli orang Karo, maka daliken itu ada LIMA (5). Saya sangat ingat betul bahwa dua + dua +  satu (ditengah agak lebih besar) = lima. Jika memasak, kuali dapat dinaikan dua sekali gus. Oleh sebab itu saya tidak mengerti, jikalau Rakut Si Telu, disamakan dengan Dalihan Na Tolu dan apabila dilaksanakan atau di sama-samakan , dalam pelaksanaan adat perkawinan  orang Karo, apa yang dimaksudkan RAKUTNA SI TELU dengan DALIHAN NA TOLU, sangat mungkin kacau balau, karena rumusannya sangat berbeda.
Contohnya teori TRIAS POLITICA oleh Montesque jika disama-samakan dengan PANCASILA, sebagai dasar melaksanakannya Pemerintah ,akan sangat berbeda (?). Begitu juga  mengenai tutur, dimana pada Masyarakat Karo  sangat tebal artinya “garis ayah” dan “garis ibu” sebab dilaksanakan secara berbarengan (Parental atau Bilateral). Jadi bukan  hanya  Patrilineal akan tetapi juga Matrilineal.

0 komentar:

Posting Komentar