Minggu, 14 Desember 2014

Karo Bukan Batak pada Liputan Indonesia Bagus di NET TV


Liputan acara Indonesia Bagus di NET TV yang tayang pada, Minggu (07/09/2014) dengan judul Berastagi Sumatera Utara telah memperjelas bahwa Suku Karo adalah salah satu suku bangsa mandiri di Indonesia dan bukan merupakan bagian dari Suku Batak. Hal ini dijelaskan melalui acara Indonesia Bagus dengan pernyataan bahwa meski keberadaan Berastagi berada di Sumatera Utara, tetapi penduduk yang mendiami daerah ini bukanlah orang Batak, tetapi mereka lebih senang disebut sebagai orang Karo.
“Berastagi ini ada di dataran tinggi Karo, walau ada di Sumatera Utara kami bukan orang Batak, kami lebih suka disebut orang Karo. Beda dengan kalak Teba itu sebutan orang Karo untuk orang Batak Tapanuli umumnya.” Demikian pernyataan narator pada acara Indonesia Bagus yang tayang di NET TV tersebut.
Memang secara sepintas masih ada rasa kurang puas dari beberapa masyarakat Karo dimedia sosial terkait liputan Indonesia Bagus yang tayang di NET TV tersebut. Kekurang puasan tersebut terasa ketika musik pengiring acara yang meliput wilayah Karo di Berastagi itu tidak menggunakan musik khas Karo, tetapi masih menggunakan musik tradisional dari daerah lain.
Berikut adalah video liputan acara Indonesia Bagus di NET TV yang bersumber dari situs berbagi video Youtube. Adapun pernyataan penegasan bahwa Karo bukan Batak dapat disaksikan pada video ini mulai menit ke 8:10

Poin Penting Tentang Pernyataan Karo Bukan Batak



Inilah beberapa kata kunci atau poin penting dalam debat mengenai posisi Karo sebagai Batak atau bukan Batak yang ditulis oleh Juara Ginting melalui mailing list Karo.
1. Batak terdiri dari Toba, Samosir, Humbang dan Silindung. Di literatur, keempat kelompok ini disebut Batak Toba. Apa yang mempersatukan Toba, Samosir,Humbang dan Silindung kalau bukan Batak?
2. Nama GBKP sering menjadi ganjalan bagi sebagian orang Karo untuk bisa menerima Karo bukan Batak. Perlu diketahui bahwa Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) menjadi nama gereja itu bukanlah sejak awal masuknya Kristen ke Tanah Karo. Pada mulanya missionaris Belanda dari NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap) mendirikan Gereja Karo. Ketika Jerman menaklukkan Belanda pada Perang Dunia II, Gereja Karo diubah namanya melalui Sidang Sinode I menjadi Gereja Batak Karo Protestan di tahun 1941. Ingat, kekristenan di daerah Batak dikembangkan oleh Reinisch Mission (RM) dari Jerman sedangkan di daerah Karo oleh NZG dari Belanda. Alasan pemberian nama GBKP jelas politik. Salah satu runggun, di Kampung Karo (Siantar), tidak setuju atas peubahan nama ini. Mereka sampai sekarang tetap mempertahankan nama Gereja Karo. Silahkan cek ke Siantar kalau tidak percaya.
3. Orang-orang yang tidak setuju dengan Karo bukan Batak sering menuduh orang-orang yang setuju sebagai berlatar belakang emosional. Menurut pengalaman saya, orang-orang yang menganggap Karo adalah Batak yang biasanya ngamuk tidak karuan alias emosional kalau disebut Karo bukan Batak
4. Kajian ilmiah, historis-antropologis, telah pernah saya lakukan dan dipublikasikan secara internasional dengan kesimpulan bahwa Karo bukan Batak. Silahkan Disini ini untuk membacanya.

KBB (Karo Bukan Batak) 10 Tahun Lalu



Suku Toba adalah salah satu sukubangsa di Indonesia yang mobilitasnya sangat tinggi, dominan dan vokal tetapi sangat praktis, sehingga duniapun mengenal mereka hanya sebagai Batak. ‘Batak-batak’ lain harus menjelaskan identitas mereka dengan susah payah, dengan tambahan keterangan yang tidak dimengerti dan membosankan atau kadang-kadang juga ’meyakinkan’ pendengarnya, dengan sambutan ‘oo ya, saya baru ngerti, selama ini saya taunya cuma . . .’ dst, karena mereka belum pernah mengenal ‘batak lain’ selain Batak.
Bagi ‘Batak lain’ kalau mengaku dirinya orang Batak, harus menerima nasibnya, identitas sukunya tertutupi atau tidak akan pernah dikenal dunia luar, atau terpaksa memperkenalkan dengan penjelasan yang cukup panjang.
Selama Suku Karo, Simalungun, Mandailing atau Pakpak mengaku dirinya ‘Batak’, selama itu pula dunia luar tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena sudah mengenal ‘Batak’, dan selama itu pula identitas mereka tertutup tidak dikenal dunia luar. Tidak ada yang bisa disalahkan selain suku-suku itu sendiri kalau mereka tidak dikenal oleh dunia luar atau yang dikenal hanya ‘Batak’. Memakai istilah ‘Batak’ atau memperkenalkan identitas suku sendiri tanpa mengikatkan diri dengan definisi antropologi lama diatas, sehingga lebih meringankan usaha pengenalan identitas dari dunia luar, artinya dalam rangka pencerahan.
Pencerahan adalah syarat penting perdamaian dan perubahan, dan seterusnya adalah syarat penting perkembangan alias kemajuan. Pencerahan yang dilancarkan oleh Perkoeah dan sendra-tari Tartar Bintang di Eropah membawakan dan memperkenalkan budaya suku Karo, telah mengakibatkan MINAT TERHADAP KARO MENINGKAT DRASTIS DI EROPAH (baca di Sora Mido) dan etnis Karo terhitung dan terlihat sederajat denga etnis-etnis lainnya.
Di Pulau Jawa masih sering terdengar ‘Batak Halus’, ‘Batak Jawa’, atau terakhir ‘Batak Solo’. Orang-orang yang dimaksud disini kebanyakan adalah orang-orang Karo tidak perlu ada keraguan. Tetapi dengan istilah-istilah demikian tentu ada pengertian sebaliknya yaitu ‘Batak Kasar’. Ini semua menggambarkan pengetahuan dibalik ‘the veil of ignorance’, dibelakang ’tabir kebodohan’ atau ketidaktahuan.
Ini bukan hanya di Jawa, tapi bahkan ke luar negeri. Masa 59 tahun merdeka masih belum cukup untuk membuka tabir kebodohan. Bagi kebanyakan orang Karo, jalan yang paling ringan dan praktis ialah: ‘KARO adalah KARO, BATAK adalah BATAK. KARO dan BATAK adalah dua suku yang berbeda’, konkrit dan jelas, dan kalau tidak mengerti atau mau tahu lebih jauh belajar sendirilah. Saya adalah Karo dan Suku Karo ada, dan bisa dipelajari terpisah dari adanya suku lain.
Orang Toba tetap mempertahankan ‘Batak’, harus ada respek dari yang lain. Dan jika yang lain tidak memakai ‘Batak’ dengan alasan-alasan seperti diatas, juga harus ada respek yang sama. Disinilah ‘perpisahan’ atau perbedaan. Pengakuan, respek dan penghargaan terhadap perbedaan atau ‘perpisahan’, adalah prasyarat atau permulaan kebersamaan. Tidak ada syarat lain yang mungkin dan mampu melahirkan simpati, dan simpati sesama warga, itulah yang melahirkan kebersamaan atau kerjasama yang mungkin.
Kalau kita mengatakan Karo bukan Batak, tentunya ada alasan yang kuat yang mendukungn pendapat itu. Yang jelas, dari segi adat istiadat ada persamaan (titik singgung) antara Karo dengan Batak. Perbedaannya pun tentu saja ada.
Hal ini perlu kita kaji secara lebih mendalam. Kalau kita hanya mengatakan Karo bukan Batak tanpa ada argumentasi kulutral yang kuat, bisa jadi tesis itu hanya bertitik tolak dari rasa tidak suka kalau Tapanuli (dugaan) mengganggap dirinya atau kita anggap sebagai “big brother”. Dan bisa jadi, anggapan itu sangat subyektif.
Sekarang (2013) kita masih membicarakan KBB, tetapi semua kita bisa merasakan sendiri bagaimana perbedaannya 10 tahun lalu, sikap kita dan cara kita mengangkat dan menganalisa persoalan KBB. Sangat banyak peningkatan menurut penglihatan saya di milis ini. Dulu kita masih mau mencari jawaban, sekarang bukan tingkat itu lagi, kita telah banyak mengembangkan dan memastikan persoalannya sehingga bangsa-bangsa lain pun tak ragu lagi bahwa Karo dan budayanya, filsafat dan dialektikanya yang sudah relatif tinggi sudah ada sejak 7400 th lalu.

Suku Karo Ditipu


Oleh MU Ginting
“Ketika saya baca sebuah dokumen Departemen Sosial yang menyebutkan bahwa di Kabupaten Karo ada proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Desa Kuta Kendit, Kecamatan Mardingding, saya pun terkejut. Sebagai orang Karo, saya bertanya dalam hati: apakah ada masyarakat terasing dalam masyarakat kami?” (Masri Singarimbun, Gatra 1996)
hutanHutan Karo Tempo Dulu (Karosiadi.blogspot.com)
Karo ditipu disiang bolong. Begitulah kesan saya ketika baca-baca di Facebook Jamburta Merga Silima (JMS). Brandy Karo Sekali mempostingkan cuplikan dari Gatra 1996 soal kekecewaan Masri Singarimbun atas ‘pencetusan’ secara tiba-tiba dan disiang bolong dimana desa Lau Pengkih/Lau Kendit Karo kecamatan Mardinging dinyatakan sebagai daerah tertinggal dan terisolasi. Pencetusnya (organisatornya, terutama orang Batak) dapat duit dari pusat dan dapat jatah pembagian tanah yang aslinya adalah tanah ulayat orang Karo di kabupaten Karo, dibagikan seenaknya tanpa persetujuan atau sepengatahuan pemilik tanah ulayat.
Duit sudah dibagikan dari pusat dan orang-orangnya sudah disiapkan untuk dipindahkan ke Lau Pengkih sebagai pemilik tanah rampasan itu, mayoritas orang Batak, suku lainnya hanya sebagai pelengkap atau embel-embel, perencanaan mana pastilah sudah diatur secara rapi sebelumnya. Seperti biasanya, tidak ada kecerobohan dalam ethnic competition yang vital dan fatal seperti ini. Disini terpenting ialah politik orang Batak menguasi tanah/daerah orang Karo (ethnic competition), seperti di tempat-tempat lain misalnya di Dairi Karo.
Konsep ‘daerah tertinggal’ digunakan Orba beri kesempatan luas kepada orang asing untuk exploitasi SDA negeri ini, tetapi orang Batak memanfaatkan ethnic competition untuk mengambil alih tanah orang Karo, dengan memanfaatkan peluang yang sangat cocok ketika itu.
“Konsep ini memberi peluang kepada investor untuk melakukan investasi di sana, terutama yang MEMBUKA daerah itu dari keterisolasian (menebang hutan, bangun jalan untuk mengangkut hasil bumi, membuka perkebunan dll). Segala investasi yang membuat daerah itu TERBUKA harus disambut positip oleh semua pihak. Adi la mendukung, antik bedil.” (Juara Ginting)
Tahun-tahun 1965-1966-1967 dan seterusnya sampai reformasi adalah tahun-tahun ‘mengerikan’ bagi suku Karo, penindasan dan penekanan politis yang tak ada bandingannya. Bupati Karo dan gubsu digantikan oleh orang Batak/Mandailing. Kabupaten Karo dikuasai oleh orang Batak, sebagai bupati Baharuddin Siregar dan Gubsu Marah Halim Harahap. Semua klop. Kuta Pengkih jadi daerah terisolasi dan terasing. Cari duit dan cari tanah, rencana sudah matang. Disini terpenting adalah tanah bagi orang Batak dalam rangka ‘asak-asak lembu’ nya. ‘Orang Karo sama sekali tak mengerti’ kata Juara Ginting. Baharuddin Siregar (bupati Karo) apalagi Gubsu pasti mengerti atau malah bisa mengatur semua prosesnya sehingga bisa jalan begitu mulus dan tak ada atau tak perlu ada orang Karo yang mengerti.
Kekuasaan Panglima Djamin Ginting dan Gubsu Ulung Sitepu berakhir. Orang Karo sibuk dengan nasibnya. Tahun-tahun permulaan era Orba dimulai dengan semua kekejamannya termasuk dan terutama atas rakyat Karo dan Suku Karo yang sangat soekarnois dan juga banyak marxis dan umumnya juga tak beragama import. Karo jadi sasaran yang pasti dan empuk bagi diktator fasis militer Soeharto. Lau Biang berwarna merah malam hari, pencidukan dan pembinasaan orang-orang Karo yang dicap ’pengkhianat bangsa’ atau kafir, serta menggasak tanah ulayatnya seperti Lau Pengkih dengan berbagai cara dan menggunakan kekuasaan yang ada (Karo sudah tak berkuasa apa-apa, termasuk daerah Karo sendiri dikuasai orang Batak dan Sumut dikuasai orang Mandailing yang dalam soal Lau Pengkih pro Batak. Desa Lau Pengkih sudah dikuasai orang Batak dan pengikut-pengikutnya. Karo kehilangan daerah, untuk selama-lamanya. Keadilan atau ketidakadilan berlaku lama dan berjangka panjang. Tetapi keadian akan ditegakkan satu waktu!
Penipuan atas suku Karo, pemindahan hak atas tanah ulayatnya di desa Lau Pengkih sekitarnya tanpa sepengetahuan orang Karo sendiri berjalan mulus tanpa gangguan apa-apa. Tentu dibawah pengawasan bupati Karo orang Batak Burhanuddin Siregar dan tak diragukan juga atas restu orang Mandailing gubsu Marah Halim Harahap, atau mungkin juga kedua orang ini mengetahuinya terlambat, tetapi tak mengetahui sama sekali adalah tak mungkin. Orang Batak dapat duit dan dapat tanah subur. Orang Karo tinggal gigit jari kehilangan tanah ulayatnya. Apakah orang Karo akan membiarkan begitu saja soal Lau Pengkih untuk selama-lamanya? Keadilan tadi, HARUS DITEGAKKAN!
“Percayalah, jangan berharap sebuah kesejahteraan dan demokrasi dapat menyeluruh jika tidak menghadirkan keadilan,” pungkas Abraham Samad ketua KPK beberapa hari yang lalu. Keadilan harus dihadirkan, atau ditegakkan. Karo berjuang demi keadilan.

Karo Kuno Berusia 3500 Tahun


Penemuan kerangka manusia purba di Kebayaken
Penemuan kerangka manusia purba di Kebayaken
Kajian ilmiah bahwa Karo Bukan Batak (KBB) sudah teruji, hal tersebut dapat dilihat dari penemuan empat kerangka manusia purba yang berasal dari masa 3000 hingga 4.400 tahun yang lalu di Loyang Mandale, Loayang Ujung Karang, Kecamatan Kebayaken, Aceh Tengah.
Penemuan kerangka manusia berusia ribuan tahun tersebut menguatkan bahwa warga Karo di Sumatera Utara identik dengan masyarakat Gayo di Aceh Tengah. DNA (asam deoksiribonukleat) tiga kerangka sama dengan DNA warga Gayo berdasarkan penelitian Eijkman pada 2012. Adapun satu kerangka berasal dari Austronesia-India.
Peneliti dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradnyana, di Medan, Selasa (4/3/2013) seperti yang dikutip dari harian Kompas, edisi Sabtu 8 Maret 2014, Halaman 23, mengatakan, migrasi warga Gayo ke Karo terjadi melalui punggung Bukit Barisan.
Menurut Ketut, Karo berbeda dengan Batak Toba. Berdasarkan penelitiannya, temuan arkeologi di Samosir baru berumur ratusan tahun. Ini menunjukkan Batak Toba belakangan datang dibandingkan dengan warga Karo kuno yang telah berusia lebih dari 3500 tahun. Meski demikian, Batak Toba diduga memiliki kebudayaan yang lebih tinggi sehingga masyarakat sekelilingnya terpengaruh.
Dengan penemuan ilmiah ini termasuk yang terkuat mengakhiri kontradiksi antara “karo adalah batak” kontra “karo bukan batak”. Kontradiksi baru (syntesis) akan muncul untuk menggantikan yang lama, tetapi masih belum terlihat bentuknya yang konkret. Dengan matinya kontradiksi ini apakah masih ada etnis yang merasa perlu mengaku dirinya “batak”?
Mengingat “batak” adalah sebagai organisasi, sehingga dalam waktu yang dekat kelihatannya masih akan dipakai oleh orang Toba yang mengaku Batak. Bisa juga dimengerti bahwa dalam persaingan etnis, senjata yang sudah kurang mantap atau sudah mati daya pengaruhnya akan berangsur hilang atau tak dipakai lagi.
Disamping itu arus utama perkembangan dunia yang mendominasi abad 21 ini adalah ‘Perbedaan’, terutama dari segi budaya/kultur (The Clash of Civilization, Huntington) atau The Clash of Emotion, Moisi). Multikulturalisme, internasionalisme, “satu nusa satu bangsa”, “persatuan dan kesatuan”, dan sebagainya hanyalah tinggal nama.

Mengapa Nama Gereja Karo GBKP?


Mengingat begitu banyaknya pertanyaan tentang mengapa nama gereja orang Karo adalah Gereja Kristen Batak Protestan (GBKP), dimana pada nama tersebut memiliki ‘label’ Batak, maka terkait pertanyaan tersebut, salah seorang penggiat gerakan Karo Bukan Batak (KBB), Juara R Ginting di grup Facebook Jamburta Merga Silima memberikan jawaban sebagai berikut:
Pertanyaanya: Kalau memang benar Karo bukan Batak, maka mengapa nama gereja orang Karo adalah Gereja Batak Karo Prostestan (GBKP)?
Jawab: Ketua Moderamen GBKP yang pertama (1941), J. van Muilwijk, memang berasal dari Belanda. Akan tetapi, pada saat itu, dia bekerja bukan untuk Nederlands Zendeling Genotschap (NZG) (Organisasi Missi Belanda), tapi melainkan, untuk Reinisch Mission Gemenshaft (RMG) (Organisasi Missi Jerman). Saat itu, dia mengepalai HKBP di Simalungun. Karena Belanda telah dikuasai Jerman pada saat itu (Perang Dunia II), maka HKBP yang dikelola oleh RMG juga mengambilalih managemen Gereja Karo dari NZG dan menggantinya menjadi GBKP pada Sidang Sinode GBKP yang pertama itu (1941) di Sibolangit. Jadi, nama GBKP itu baru muncul PADA TAHUN 1941.
Jangan lupa, pengkristenan orang Karo dianggap proyek gagal. Missionaris pertama, H.C. Kruyt sudah menyatakan bahwa orang-orang Karo tak mungkin dikristenkan. Karena dia dianggap gagal oleh penyandang dana, yaitu Deli Maschapij, maka dia dipulangkan dan diganti dengan missionari lain. Begitupun, tetap saja sedikit sekali orang Karo menjadi Kristen. Bahkan, sebagaimana beberapa sejarawan dan antropolog mencatatnya, hingga tahun 1960an, orang-orang Karo sangat anti segala yang berbau Barat (baik gereja maupun sekolah). Baru setelah peristiwa G30S 1965, banyak orang Karo masuk agama karena takut dituduh komunis. Menurut data dari seorang pendeta Jerman yang pernah bekerja untuk GBKP, Grothuis (seorang putrinya Almut Grohuis bekerja sangat lama untuk Yayasan Alpha Omega GBKP di tahun 1990an), pada tahun 1967, hanya sekitar 11 koma sekian persen orang Karo beragama.
Kedatangan Pdt. Grothuis ke GBKP adalah babak baru lagi bagi GBKP untuk bekerjasama dengan RMG Jerman. Grothuis dikirim ke Indonesia awalnya adalah untuk bekerja di HKBP. Karena konflik di dalam HKBP maka dia ditolak untuk bekerja di sana. Dia mendatangi GBKP dan diterima oleh GBKP. Dialah yang kemudian membawa babak baru kerjasama GBKP dengan RMG khususnya melalui Lemgo dan Wupertal. Kebetulan saja saya pernah diminta oleh Museum Lemgo untuk berceramah di sana dan dari seorang yang mendatangi saya setelah ceramah itu saya mendapat informasi bagaimana sejarah kerjasama antara Lemgo dan Alpha Omega yang yang kebetulan pula dibidani oleh mama nguda saya pula. Sewaktu kita-kita dari Belanda mengunjungi mama Pdt. MP Barus di Wupertal sempat pula berbicara lewat telepon dengan Pdt. Grothuis dalam bahasa Karo dan tak lama setelah itu dia meninggal dunia. Saya sempat lama bekerjasama dengan putrinya dalam pembuatan video acara-acara Alpha Omega. Inti penuturan saya, sejak adanya hubungan erat antara GBKP dengan RMG maka hubungannya dengan NZG sepengamatan saya semakin renggang.

Bahasa Karo dan Toba Tidak Nyambung


Walau sama-sama dipangil BATAK tapi Suku Karo dan Toba memilki terlalu banyak perbedaan. Khususnya perbedaan bahasa. Dalan banyak hal perpotongan bahasa keduanya sangat signifikan bahkan pengertiannya dapat mengakibatkan salah faham.
Contoh saja: Kalau mengatakan Iya atau Ya kalau Karo mengatakan UWE sedangkan Toba mengatakan OLO.
Contoh kesalahan dalam komunikasi: Seorang Karo menerima telepon dari seorang Toba. Kring-kring… Lalu diangkat oleh seorang Karo dan kemudia sipenelepon (Toba) bertanya dalam bahasa daerahnya: ISE DOON, artinya siapa ini, Namun dalam bahasa Karo itu dapat diartikan SIAPA YG GILA, karena ISE = siapa, Doon (Adoon) = Gila dalam bahasa KAro. Artinya ngak nyambung bung.
Contoh Kedua dalam bahasa Karo orang mengatakan MAU KEMANA = KUJA KAM EE, Namun dalam bahasa Toba NATU DIA HO. Dalam bahasa KARO, NATU itu adalah KEMALUAN LELAKI (PENIS).
Kota Galang Deli Serdang Sumut
Kota Galang Deli Serdang Sumut
Kalau ada dua orang Toba dan satu orang Karo yang tak saling kenal dalam sebuah BUS, dari satu tujuan misalnya dari PANTAI CERMIN menuju kota GALANG (LIHAT PETA DISEBELAH). Lalu  setelah berkenalan seorang Toba bertanya kepada seorang Toba yang lain, dalam bahasa Toba: NATU DIA HOO (MAU KEMANA KAMU), lalu dijawab seorang teman Toba itu: NATU GALANG (MAU KEGALANG). Namun dalam arti bahasa KARO, NATU GALANG itu adalah Kemaluan lelaki yang besar (PENIS BESAR). NATU = PENIS; GALANG = BESAR. Hahahaha betapa lucunya kedua suku ini.
Artinya perbedaan itu sangat mencolok dan dapat diartikan bahwa Karo dan Toba itu sedari nenek moyangnya sudah berbeda, sehingga bahasanya juga berbeda. Namun mengapa dapat dikelompokan menjadi sesama BATAK. Jadi leluconya bukan saja  keanehan dalam perbedaan bahasa diatas, leluconnya juga mengapa Karo dan Toba bisa dikelompokkan sama-sama batak……………Hahahahaha  Ini pasti kerjaan Penjajah Belanda…………dasar penjajah.
Karena menurut sejarahnya ketika Belanda menyebarkan agama Kristen ke Karo mereka banyak memanfaatkan tenaga orang-orang Toba, sehingga mereka memaksakan Karo dalam sebutan sesama Batak. Karo sendiri diyakini keturunan dari percampuran India, Aborizin Taiwan, sehingga Karo memilki suku-suku beristilah  India, seperti Brahma dan Colia. Sebagian Karo pada awalnya beragama Hindu dan melakukan pembakaran mayat dan bukan di kubur. Batak sendiri artinya adalah  sesuatu yang negatif yang bandal, sulit diatur, kanibal dll, sehingga pengelompokan ini menjadi sebuah lelucon dalam arti yang luas.
Mari kita tertawa karena ini adalah lelucon sejarah.

Karo bukan Keturunan si Raja Batak


Batak sering disebut sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama batak itu sendiri sering dijadikan rujukan untuk mengidentisifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Utara.
Adapun suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah, Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola.
Namun bila ditinjau dari segi sejarah, maka anggapan Karo adalah bagian dari Batak merupakan presepsi yang sangat keliru.
Kutipan tulisan dari koran Suara Pembaruan dengan judul “Siapakah Orang Batak Itu?” yang terbit pada 29 Januari 2005, menyebutkan bahwa benar, bangsa Batak adalah keturunan langsung dari si Raja Batak.
Si Raja Batak pada tulisan itu diperkirakan hidup di sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus.
Pada tahun 1275, Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400, kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas, diperkirakan si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari selatan Danau Toba (Portibi), atau dari barat Danau Toba (Barus), yang mengungsi ke pedalaman akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus.
Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya, ditempatkan di Portibi, Padang Lawas, dan sebelah timur Danau Toba (Simalungun)
Sebutan Raja kepada si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan si Raja Batak, seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dan sebagainya, meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.
Selanjutnya menurut buku Leluhur marga-marga Batak, dalam silsilah dan legenda, yang ditulis Drs Richard Sinaga, Tarombo Borbor Marsada anak si Raja Batak ada tiga orang, yaitu Guru Teteabulan, Raja Isombaon, dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.
Di antara masyarakat Batak, ada yang mungkin setuju bahwa asal-usul orang Batak dari negeri yang berbeda, tentu masih sangat masuk akal. Siapa yang bisa menyangkal bahwa Si Raja Batak yang pada suatu ketika antara tahun 950-1250 Masehi muncul di Pusuk Buhit, adalah asli leluhur Orang Batak?
Dari sejarah Batak yang tertulis di Koran Suara Pembaruan ini, maka kita dapat membuat perbandingan antara kehidupan Si Raja Batak dengan sebuah kerjaan besar bernama Aru yang disebut-sebut sebagai kerjaan yang pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara saat ini.
Dari catatan kronik Cina pada masa Dinasti Yuan, disebutkan bahwa pada tahun 1282 Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina. Tuntutan itu disebutkan ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Maka dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Aru sendiri pasti sudah ada sebelum tahun 1282?
Antara Karo dan Kerjaan Aru selalu terkait, bahkan terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo.
Membandingkan antara masa kehidupan si Raja Batak dengan masa berdirinya Kerjaan Aru yang secara bersama-sama hidup diantara abad ke-12 sampai abad ke-13 dengan dua kerjaan yang berbeda, maka sudah tentu, antara nenek moyang Batak dengan nenek moyang Karo itu berbeda. Disatu sisi nenek moyang Batak berasal dari Si Raja Batak. Namun disisi lain nenek moyang Karo berasal dari Kerjaan Aru yang rajanya disebut juga dengan Pa Lagan (nama orang karo).

Masyarakat Karo Tidak Pernah Berkepercayaan Batak


Tanah Karo  adalah terletak mulai dari selatan tepi Danau Toba bagian Timur laut  terbentang luas ke utara samapai ke Selat Malaka  dan dari sebelah barat mulai dari perbatasan   Aceh sampai  keperbatasan Simalungun di sebelah tenggara  dan timur.
Daerahnya disebelah barat dan selatan bergunung- gunung , termasuk bagian- bagian  dari Bukit Barisan atau dataran tinggi, sedangkan bagian utara  dan timur adalah dataran rendah. Sebagai batas dari  dataran tinggi dan rendah ini terletak gunung- gunung  tinggi yaitu Gunung Sinabung ( 2451 M diatas permukaan Laut ) sebalah  barat dan Gunung Sibayak (2060 M  diatas permukaan laut) sebelah timurnya.
Perkampungan Karo di Namorambe (Deli Serdang Sekarang) Tahun 1880-1890
Sungai yang terbesar di tanah Karo ada 2 (dua) yang pertama  bernama  Sungai Wampu  yang bermuara ke Selat malaka . Sungai ini berasal dari Lau Biang (Sungai Anjing) didataran tinggi Karo dan dan yang kedua Sungai Simpang yang bermuara Singkil di lautan Indonesia  di pantai  Pulau Sumatera bagian barat Aceh selatan. Sungai ini berasal dari Lau Jandi dan Lau Bengap, Renun  menjadi Sungai Simpang kanan dan Sungai simpang kanan bergabung dengan sungai simpang kira dan hasil penggabungan ini menjadi simpang kiri (Rawe Alas) yang berasal dari dataran tinggi Tanah Karo.
Kedua muara sungai ini sangat erat sekali hubungannya dengan suku  Karo. Muara sungai Simpang adalah tempat mendaratnya  pertama kali nenek moyang orang-orang Karo, baik yang datangnya dari perbatasana Buram dan Thailand maupun yang datangnya dari Maderas India Selatan, seperti merga Sembiring Meliala  dan lainnya. Sedangkan Muara Sungai Wampu terkenal dengan  Kerajaan AROE atau AROE wampu (Kl 1200 – 1505) , sedangkan  pada priode itu di Tapanuli ada pula kerajaan Batak dengan segala kepercayaannya itu yang diperintah oleh seorang raja dengan gelar Sori (Seri), Manga (Maha besar) Raja (Raja)  berkedudukan di Sianjur Sagala Limbong Mulana (sekarang disebut tempat itu Tanjung Bunga).
Kerjaaanya orang Karo didataran rendah pantai Selat Malaka sudah berdiri selama  14 generasi. Pada Abad  ke-XIX, Tanah Karo dataran rendah ini terbagi menjadi kesultanan Langkat dan Tanah Deli, serta tanah-tanah di kedua kesultanan ini  dibagi- bagi oleh pemerintah Belanda  menjadi tanah-tanah Konsesi selama 99 tahun. Berlainan halnya dengan dataran tinggi Karo dimana daerah ini pada Abad 19  penduduknya masih hidup dialam merdeka dibawah pemerintahan setempat secara regional yakni : Sibayak- Sibayak dengan sistim Pemerintahan Adat dibawah pengaruh pemerintahan Aceh.
Pada tahun 1128, daerah dataran rendah Karo  atau lazim juga disebut  Karo Jahe,  telah masuk pengaruh agama Islam  dari Kesultanan Daya Pasae  ber-mazhab Syi”ah  Fathimiah yang berpusat dimuara Pasai Aceh, sedangkan di daerah  dataran Tinggi  Karo atau  Pegunungan pada Abad ke XIX  tersebut diatas penduduk Karo belum ada yang memeluk agama Islam, kecuali seorang  Raja dari Kerajaan JUHAR, yaitu Sebayak Kaeisar (Kaisar panggilan tenteranya, tentera jawi yang terdiri dari orang-orang Singkil, Alas dan Gayo  berasal dari daerah Aceh dan kesemuanya telah beragama Islam).
Tiga bersaudara lelaki putra dari JUHANG (panggilan JUANG) TARIGAN dan ibunya beru Sebayang dari Rumah Jahe Perbesi, bersama istrinya bernama Paras beru Sebayang dari Kuala/Singalorlau dan seaorang anaknya Sebayak Juan (Pa Jalapi). Dan inipulah latar belakang sejarah mengapa merga Tarigan Sibero dari Kerajaan Juhar ini oleh pemerintah Belanda dikucilkan karena Belanda Khuatir pengaruh Aceh yang melawan tetap ada di Kerajaan ini kemudian hari  sehingga Sibayak Kaisar adalah salah seorang sahabat dari Sultan Daut dari Kerajaan Aceh dan Sultan ini menganjurkan  supaya Sibayak Kaisar memeluk agama Islam, maka inilah orang Karo di dataran Tinggi yang pertama menjadi Islam dan meninggalkan kepercayaan agama pemena asal kata Bergu  suatu sekte agama Hindu Ciwa.
Pada permulaan  abad XX  tahun (1904-1905) seluruh dataran tinggi Karo ini peraktis telah diduduki oleh tentera Belanda dan Kapten  Coleijn menjadi penguasa perang daerah militer (Militair Gezaghebber) didataran tinggi Karo dan sebelumnya telah mengetahui keadaan raja- raja dan rakyatnya di daerah ini dan  Poortman mantan Controleur Sipirok di daerah Tapanuli diangkat menjadi Reggeringsgemachtigde Belanda  di dataran tinggi Karo dan menetapkan  Kabanjahe sebagai  ibu kota dataran tinggi ini.
Poortman dari Sipirok membawa baginda Johannes Pohan seorang guru Zending dan menerpakan menjadi manteri  Polisi  di kabanjahe dan keduanya berjasa untuk menegakkan Pax Newerlandica disamping  Law and Order di daerah ini.

Mengenal Masyarakat Karo Bukan Batak


Jikalau diteliti, disetiap penerbitan buku, pasti mempunyai maksud dan tujuan (untuk itu harus disimak secara mendalam, jangan terkecoh terutama mengenai masyarakat karo, dan bagaimanapun kejadiannya kita sendiri sebenarnya yang merasakannya  sebagai orang karo, sedangkan penerbit dan pengarang buku tersebut bukan orang Karo, manalah mungkin dia memahaminya secara mendalam dan dipastikan hanya bagian luarnya saja. Selain itu apa yang melatar belakangi pembuatan buku itu sendiri tentunya ada maksud tujuan tertentu, mau diarahkan kemana benak yang membacanya sehingga persepsinya  menjadi lain dalam mengenal Masyarakat karo yang dia uraikan tersebut, sesuai dengan yang hendak dia ingin paparkan).
Dapat kta rasakan dampaknya bahwa sampai saat ini dimanapun kita berada bagi masyarakat Indonesia sampai ke jajaran pemerintahan sampai kepucuk pimpinan Pusat sapaan kepada kita orang karo disapa sebagai Orang Batak. bahkan dilingkungan   Legeslatif oleh penjabat-penjabat pemerintah sapaan itu selalu muncul.
Tidak cuma sampai disitu, namun pada bidang pendidikan, bertemu para pendidik/guru- guru, maka ternyata di sapanya juga kita sebagai orang Batak, di RT/RW kantor-kantor lainnya. Mereka tidak mengenal Orang Karo. Saya tidak merasa ploong dengan sapaan itu, akan tetapi merupakan kenyataan bahwa Kebudayaan Masyarakat Karo, bahasa Karo, Aksara Karo, Merga- Merga SILIMA di Karo, Sastra Karo, Jenis Pakaian Karo, Lagu- lagu Karo, Makanan Khas Karo, Adat Istiadat karo, Salam Mejuah- juah dari karo masih sangat kurang dikenal masyarakat suku- suku lain di Indonesia, bahkan  penulis serta peneliti Eropa, Amerika, dan Asia juga demikian.
Maafkan saya, tidak perlu masyarakat Karo sakit hati dan malu, akan tetapi mengapa demikian ironisnya? Mengapakah orang Karo didalam masyarakat Indonesia sama seperti halnya daun sirih tak bertangkai? Dalam ikatan ia berada  di dalam, tetapi tidak masuk dihitung, sebab  tak bertangkai. Istilah dalam bahasa Karo disebut “BAGI BELO LA ERTANGKE”.
Untuk itu timbul pertanyaan lebih jauh, mengapakah selama ini dari tahun 1900-an penjajah datang, ke  Karo, sampai tahun 2011 ini, masih saja sebutan kepada orang Karo sebagai orang Batak?. Benarkah orang Karo itu  mempunyai religi BATAK?  Apakah masyarakat menyadari  bahwa agama Kristen itu diturunkan melalui/ memakai bahasa pengantarnya  bahasa Ibrani? Agama Islam diturunkan  memakai bahasa ARAB ?
RELIGI BATAK itu memakai  bahasa pengantarnya bahasa Batak? Sejak datangnya sampai kini di Pusuk Buhit, UGAMO  MALIM atau PARMALIM (BATAK?)  adalah kepercayaan. Apakah masyarakat Karo dan luar Karo memahami bahwa masyarakat Karo di dataran tinggi ,maupun  masyarakat Karo di dataran rendah belum pernah  memeluk RELIGI BATAK?
Siapakah yang menyapa dan menyebut masyarakat Karo itu sebagai  Batak Karo?  Mengapakah  dalam bahasa asing  ada organisasi  keagamaan  menyebut wadahnya Batak Karo  Bata,s  atau dalam bahasa Indonesia Batak Karo? Benarkah para peneliti, pengarang, penulis menyakini akan tulisannya pada karyanya itu bahwa bahasa Toba hanya lain logat dengan bahasa Karo ? Demikian pula alat kelengkapan buah akalnya  dalam  kebudayaan cukup jauh bedanya, akan tetapi mengapa suka disama-sama kan?
Dari mana asal muasal Karo? Apakah menurut etimologi bahasa oleh peneliti dari Eropa, Amerika, Asia, dan Pribumi? Betulkah penulisan dalam buku antropologi bahwa Batak itu sebuah Suku Batak? atau Ras? Apakah  dasarnya disebutkan Suku Batak terdiri dari Sub Suku, yaitu Suku Karo, Toba,  Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing ?
Apakah benar Suku  Batak itu terdiri dari banyak logat-logat bahasa, yaitu logat Karo, logat Toba, logat Pak pak, logat Simalungun, logat Angkola, dan logat Mandailing?
Benarkah hanya perbedaan logat? Bukankah ini merupakan sebuah perbedaan bahasa? Pernahkah diuji kebenarannya bahwa ini hanya cuma perbedaan logat-logat saja? Disadarikah oleh masyarakat luas bahwa bahasa Karo adalah  bahasa kesatuan orang karo terdiri dari logat Gunung/Karo Jahe, logat Kenjulu, logat Jahe-jahe ?
Ketiga logat dalam  bahasa Karo ini, jika diuji didalam satu pesta adat perkawinan yang rumit dan unik, maka mereka akan tetap memakai bahasa Karo  dengan logat-logat yang berbeda. Namun dalam suatu pesta perkawinan seorang Karo dengan seorang Toba , atau dengan seorang Mandailing, atau Pak-Pak, atau seorang Simalungun atau seorang dari Angkola  merundingkan emas kawin dalam sebuah adat? Mungkin kacau balau? Penulis belum pernah mendengarnya, tetapi perkawinan itu sudah ada dan disaksikan ternyata mereka memakai bahasa Indonesia dan bukan bahasa Batak.
Mengapa demikian? Bukankah hal ini suatu bukti bahwa bukan cuma perbedaan logat diantara bahasa Karo, Toba, Simalungun, Pak-Pak, Angkola, dan Mandailing? Akan tetapi benar perbedaan bahasa yang tidak saling mengerti. Karena perbedaan bahasa  tersebut agar tidak merusak jalannya musyawarah pada sebuah pesta, maka dipakailah bahasa Indonesia
Jika yang mengerti satu tiga orang,itu bukan ukurannya. Sama juga kalau ada satu dua kata bahasa serupa, bukan ukuran satu ras, demikian juga nama. Masalah itulah sebenarnya mendorong hati nurani kita di Group SAPO HOLLAND ini  untuk mendalaminya  dalam segala informasi untuk diambil sari patinya, sehingga dapat melestarikan Kebudayaan kita orang Karo “bagi oratna” dan diharapkan dapat menjadi bermakna bagi seluruh masyarakat Karo dimanapun dia berada.
Melalui Group SAPO HOLLAND yang notebene berada pada situs jejaring sosial Facebook ini dan bisa diakses sedemikan rupa dari mana saja, sehingga  orang karo semakin dapat dikenal oleh masyarakat dunia. Saya bertanya, karena ada sementara orang yang menyamakan “Dalihan Na Tolu” dengan “Rakut Sitelu”.
Jika diteliti, Dalikan  di rumah asli orang Karo, maka daliken itu ada LIMA (5). Saya sangat ingat betul bahwa dua + dua +  satu (ditengah agak lebih besar) = lima. Jika memasak, kuali dapat dinaikan dua sekali gus. Oleh sebab itu saya tidak mengerti, jikalau Rakut Si Telu, disamakan dengan Dalihan Na Tolu dan apabila dilaksanakan atau di sama-samakan , dalam pelaksanaan adat perkawinan  orang Karo, apa yang dimaksudkan RAKUTNA SI TELU dengan DALIHAN NA TOLU, sangat mungkin kacau balau, karena rumusannya sangat berbeda.
Contohnya teori TRIAS POLITICA oleh Montesque jika disama-samakan dengan PANCASILA, sebagai dasar melaksanakannya Pemerintah ,akan sangat berbeda (?). Begitu juga  mengenai tutur, dimana pada Masyarakat Karo  sangat tebal artinya “garis ayah” dan “garis ibu” sebab dilaksanakan secara berbarengan (Parental atau Bilateral). Jadi bukan  hanya  Patrilineal akan tetapi juga Matrilineal.

Aksara Batak Ternyata Berasal dari Luar Batak


Di seluruh dunia hanya terdapat dua tempat yang menemukan aksara, yaitu Mesir dan Cina. Semua aksara yang dikenal saat ini di dunia merupakan turunan Mesir atau Cina. Aksara India termasuk kelompok Mesir, sementara aksara Batak termasuk kelompok India.
Seperti yang ditulis oleh Dr. Uli Kozok dilamaan fans page facebooknya, menuliskan bahwa semua aksara Nusantara (kecuali Jawi dan Latin) merupakan aksara yang berasal dari India. Namun menurutnya, setelah tiba di Nusantara, terdapat perkembangan yang menarik: Kesejajaran huruf /da/ dan /ja/ hanya ada di Nusantara, tidak di India.
Pada pembagian besar aksara Nusantara bentuk huruf /da/ dan /ja/ pada hakikatnya sama. Adapun yang membedakan kedua huruf hanya sebuah garis horisonal yang ditambah pada aksara /ja/.
Apa implikasi untuk sejarah aksara Batak? Bahwa menurut Uli Kozok terdapat 3 kesimpulan utama, yaitu:
1. Semua aksara Nusantara (Indonesia dan Filipina) memiliki asal usul yang sama,
2. Aksara Batak bukan diciptakan di Tanah Batak melainkan berasal dari luar,
3. Berdasarkan pengetahuan kita mengenai sejarah Sumatra, sepertinya tempat asal aksara Batak terdapat di kawasan Sumsel, Bengkulu, Jambi, dan barangkali juga Minangkabau.
Dari tulisan Uli Kozok terkait asal-usul aksara tersebut, pengamat sejarah Karo, Edi Sembiring yang selama kurun beberapa tahun terakhir telah mendirikan blog Karo Siadi menambahkan, bahwa Van der Tuuk lah yang menuliskan buku tentang Aksara Batak tapi hanya pada : Mandailing, Toba dan Dairi. Mengapa tak Karo dan Simalungun termasuk? Kalau hanya karena jarak bisa dimaklumi hingga tak mampu ditempuhnya.
Edi Sembiring menambahkan bahwa hal yang tak dapat diterima bila dinamakan aksara Batak apabila para peneliti kala itu harus memaksakan menamakannya. Menurutnya pilihan nama Batak adalah kesesatan.
“Uli Kozok pun mengakui yang tertua pengguna aksara ini adalah Mandailing. Bisa saja pengetahuan ini berasal dari Minangkabau. Bisa pula diberi nama aksara Mandailing” tulis Edi Sembiring
Edi juga mengatakan bahwa aksara dapat dipelajari oleh suku apapun yang berbeda bahasa seperti aksara latin yang digunakan saat ini oleh banyak negara, oleh banyak bahasa. Bukan karena 5 suku beraksara sama maka dikatakan serumpun.
“Kepentingan pengetahuan menggunakan aksara kala itu pun terbatas. Jadi aksara bukan sepenuhnya menentukan identitas. Toh aksara pun itu ternyata produk import” tandasnya.

Mengapa Gereja Batak Karo Protestan?

Saya pribadi sebenarnya malas membicarakan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), apalagi membahas tentang sejarah asal-usulnya namanya. Namun berkaitan dengan gerakan Karo Bukan Batak (KBB), dimana sangat banyak sekali orang-orang yang belum mengerti tentang apa sebenarnya tujuan gerakan ini, meski sudah ratusan kali dipublikasikan. Namun masih saja ada segelintir orang yang mempertanyakan tentang keberadaan gerakan ini, serta kerap pula dipersinggungkan dengan nama GBKP.
gbkpBerkaitan dengan hal tersebut, maka pada kesempatan kali ini saya ingin mencoba menulis secara singkat tentang sejarah GBKP seperti yang saya ketahui, dimana pada awalnya nama GBKP sebenarnya tidak memiliki embel-embel Batak, tapi hanya tertulis sebagai Protestantse Kerk (Gereja Karo Protestan).
Nama Batak pada gereja Karo baru ada semenjak tahun 1941, sebelumnya gereja tersebut bernama Karo Protestantse Kerk (Gereja Karo Protestan) atau gereja tanpa embel-embel nama Batak. Penamaan Batak pada Gereja Karo bermula ketika Prof. Dr. H. Kraemer mulai meninjau tempat-tempat zending di daerah Karo pada tahun 1939 sekaligus mengusulkan agar dalam waktu sesingkat-singkatnya Jemaat Karo dipersiapkan berdiri sendiri. Dalam rangka kemandirian ini, tenaga-tenaga pribumi disekolahkan untuk menjadi pendeta. Selain itu, ditunjuk majelis-majelis Jemaat yang sudah mampu. Pada tahun 1940, dua Guru Injil P. Sitepu dan Th. Sibero dikirim ke sekolah pendeta di seminari HKBP, Sipoholon.
Pada 23 Juli 1941, dimana bertepatan dengan selesainya studi Guru Injil yang disekolahkan di Seminari Sipoholon (Tarutung). Pada pertengahan sidang Sinode Pertama ditetapkanlah nama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Sibolangit. Pada saat yang sama, ada penahbisan dua orang pendeta pertama dari suku Karo, yaitu Pdt. Palem Sitepu dan Pdt. Thomas Sibero. Pada sinode pertama ini juga, Tata Gereja GBKP yang pertama dan ketua Moderamen GBKP, Pdt. J. van Muylwijk ditetapkan. Sekretaris Moderamen adalah Guru Lucius Tambun (periode 1941-1943 ). Pdt. P. Sitepu ditempatkan di Tiga Nderket, sebagai wakil ketua Klasis untuk daerah Karo Gugung (Dataran Tinggi) serta Pdt. Th. Sibero di Peria-ria, sebagai Wakil Ketua Klasis daerah Karo Jahe.
Dari kronologis diatas, maka jelaslah bahwa ada keterkaitanya antara keberadaan Guru Injil yang disekolahkan ke seminari HBKP, di Spoholon (Tarutung) dengan penamaan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dikemudian hari (Bertepatan dengan Sidang Sinode Pertama GBKP). Saya yakin tanpa keterkaitan antara Guru Injil tersebut, maka nama GBKP akan tetap seperti semula, yaitu Gereja Karo Protestan (GKP).
Demikianlah sekilas yang saya ketahui tentang sejarah GBKP, secara pribadi saya memohon agar masukan-masukan dari semua teman-teman demi kesempurnaan tulisan diatas. Bujur ras Mejuah-juah
Beberapa tanggapan terkait tulisan “Mengapa Gereja Batak Karo Protestan?” di Facebook:
Juara R Ginting
Dari kutipan di atas: “…. Tata Gereja GBKP yang pertama dan ketua Moderamen GBKP, Pdt. J. van Muylwijk ditetapkan …” Pendeta ini memang berasal dari Belanda, tapi dia bukan bekerja untuk Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang mengawali missi ke Karo, tapi melainkan, dia bekerja untuk Rheinische Missions Gesellschaft (RMG) dari Jerman. Saat itu dia bertugas untuk HKBP di Simalungun. Saat Sidang Sinode yang pertama itu dilangsungkan, Belanda sudah dikuasai sepenuhnya oleh Jerman dalam Perang Dunia II. NZG porak poranda saat itu dan tidak bisa lagi membiayai missi ke Karo. Tentu saja menjadi pertanyaan besar mengapa atau kepentingan siapa nama gereja ini diubah menjadi ada kata Bataknya dari sebelumnya tidak ada? Pertanyaan berikutnya, meski tulisan-tulisan Belanda sering menyebut Karo Batak untuk suku ini mengapa nama gerejanya disebut tanpa ada kata Bataknya? Ada apa dengan atau tanpa kata Batak? Ada SESUATU KALI, bukan?
Batal Suka · 6 · Hapus · Jumat pukul 20:15
Juara R Ginting
Dengan kata lain, Karo Bukan Batak dan Karo Adalah Batak bukan persoalan baru, teman-teman. Sudah sejak jaman kolonial ini menjadi PERSOALAN.
Batal Suka · 3 · Hapus · Jumat pukul 20:17
Steven Amor Tarigan
GBKP Calvinis
HKBP Lutheran
Disunting · Batal Suka · 2 · Hapus · Jumat pukul 20:19
Juara R Ginting
Hanya peristiwa G30S 1965 dan rezim Orde Baru yang mampu membungkam orang-orang Karo untuk mengganas terhadap ketidakadilan. Kalau ada yang bilang mengapa tidak dipersoalkan dari dulu-dulu, terlihat bahwa sejak 1965 itulah orang-orang Karo takut mempersoalkan KBB. Baru sejak Reformasi pula kita-kita ini tidak takut lagi. Atau, masih banyak yang ATUT?
Disunting · Batal Suka · 2 · Hapus · Jumat pukul 20:20
Brandy Karo Sekali
Sangat menarik sekali tambahan informasi yang kam sampaikan bang @Juara. Sebelumnya saya pribadi tidak mengetahui bahwa Pdt. J. van Muylwijk sebenarnya adalah orang Rheinische Missions Gesellschaft (RMG). Lalu kembali akan muncul pertanyaan kenapa hingga saat ini orang GBKP masih mengakui bahwa sistem teologisnya beraliran Calvinis, sementara Modramen yang pertama sendiri dalam hal ini Pdt. J. van Muylwijk adalah orang Lutheran?
Suka · 1 · Sunting · Jumat pukul 20:22
Sas Lingga
Sinode 1941 itu ,Ada sisi lain saya kira selain yg kam sampaikan brandy @ perubahan gkp menjadi gbkp agar org batak yg ada di karo bisa ikut ke gereja bersama sama jadi seolah menjadi gereja suku batak dan suku karo,,
Batal Suka · 3 · Hapus · Jumat pukul 20:27
Juara R Ginting
Apakah pertanyaan bahwa GBKP beraliran Calivinis atau Lutheran pernah dipersoalkan di GBKP secara resmi kecuali hanya gerutu-gerutu para pendeta yang sudah bermacam-macam aliran? Jemaat kurang peduli soal aliran ini tapi di kalangan pendeta ini sering menjadi bahan perdebatan, tapi tak pernah sampai ke permukaan apalagi ke sidang sinode.

Sinabung Jaya, kisahmu dulu dan kini



Foto kenderaan  roda mati tahun 30 (tiga puluhan), yang pada waktu itu disebut “motor kitik” oleh masyarakat Karo di Dataran Tinggi Karo.  
Foto Bus  PMG (Perusahaan Motor Gunung) nomor lambung 150 tahun 1957 merek  GMC buatan Amerika Serikat BK. 15076 yang menjalani trayek Kabanjahe – Medan, cikal bakal PO. Sinabung Jaya dikemuidan hari.
Foto Alm.Drs.  Kueteh Sembiring Gurukinayan, Penggagas  Merk “ Sinabung Jaya”
Anak Sulung Alm. Reti Sembiring Gurukinayan & Almh. Releng br Sitepu

Foto ketika jasad Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan di bawa ke Jambur desa Gurukinayan (gedung pertemuan) padaa tanggal 23 September 1964, dimana jasadnya dalam posisi “duduk” dalam peti yang dibuat secara khusus oleh “anak beru” Posisi duduk tersebut atas permintaan Anak Beru maupun keluarga lainnya karena semasa hidupnya keluarga menganngap mempunyai charisma yang dapat mempersatukan seluruh keluarga tanpa melihata statusnya ekonominya. Oleh sebab itu menurut mereka agar kharismanya dapat diturunkan kepada anak-anaknya (bukan istri dan anak-anaknya) maka harus dikuburkan dalam posisi duduk. Kenyataannya, charisma tersebut turun kepada anak sulungnya Kueteh Sembirng Gurukinayan yang cukup dikenal pada tahun 1965 sampai awal pemili tahun 1971.
Foto PO. Sinabung Jaya nomor 7 trayek Kabanjahe _ Medan PP, merk Chevrolet tahun 1961 sebagai mobil pengganti dari mobil sedan Plymouth tahun 1956 ayahanda Almarhum Reti Sembiring Gurukinayan, dari kiri berdiri Ibunda Goto br Sitepu yang sekarang sudah berumur 91 tahun dan sebelahnya ibunda Almarhumah Releng br Sitepu. Foto diambil didepan rumah ayahanda Almarhum Rekat Sembiring di Gurukinayan pada tanggal 21 Nopember 1970, beberapa hari sebelum Kincar Emanuel Sembiring Gurukinayan ( berdiri sebelah kiri) dan Rophian Sembiring Gurukinayan (ketiga di belakang) melanjutkan kuliah ke Yogyakarta.

Foto PO. Sinabung Jaya nomor 10, BK. 39013 trayek Gurukinayan – Medan PP, merk Chevrolet tahun 1961 di Parik Lau (sungai) Gurukinayan.Dibelakang terlihat Almarhum Buyung sedang mencuci busnys.Didepan (sesuai arah jam) tampak Rophian Sembiring Gurukinayan, Bania Fonta Singarimbun dan anak Almarhum Tabas Surbakti: Dalton Surbakti dan Asa Surbakti.

Foto armada bus Po. Sinabung Jaya   tahun 2006

Perjalanan PO. Sinabung Jaya ternyata panjang dan berliku-liku, berikut ini kisahnya yang disunting dari laman Bus Sinabung Jaya :

1. TAHUN 1904
Perusahaan Otobus PO. Sinabung Jaya yang beralamat di Jl. Veteran Gang Usaha Tani, Berastagi, Kabupaten Tanah Karo Provinsi Sumatera Utara mulai dirintis oleh Reti Sembiring Gurukinayan yang dilahirkan pada tahun 1904 di kampung Gurukinayan yang letaknya persis di bawah Gunung Sinabung, kecamatan Payung, Kabupaten Tanah Karo.  Mempersunting seorang gadis bernama Releng br Sitepu anak saudara dekat dari ibunya yang berasal dari kampung Berastepu dan dikaruniai 10 (sepuluh)  anak yang terdiri dari 7 (tujuh) anak pria dan 3 (tiga) anak perempuan.

Reti Sembiring Gurukinayan adalah seorang anak sulung dari keluarga petani yang ayahnya bernama Ngupahi Sembiring Gurukinayan yang beristrikan Peraten br Sitepu yang kebetulan juga berasal dari kampung Berastepu yang lokasinya bertetangga dengan kampung Gurukinayan, yang dikarunia 3 (tiga) orang anak yaitu Reti  Sembiring Gurukinayan, Bantamuli br Sembiring Gurukinayan dan Rekat Sembiring Guruki-nayan.

Dibesarkan dan dididik di keluarga petani, bukan berarti Reti Sembiring Gurukinayan ingin menjadi petani walaupun tanah ladang dan sawah yang akan diwariskan oleh ayahnya kelak cukup untuk menghidupi keluarganya di kemudian hari, beliau mempunya cita-cita lain untuk masa depannya. Walaupun tidak pernah mengikuti pendidikan formal di bangku pendidikan sekolah rakyat (sekolah dasar) atas kemauan keras untuk mewujudkan cita-citanya secara otodidak akhirnya dimasa remajanya dapat membaca, menulis dan berhitung.

2. TAHUN 1915
Dalam masa pertumbuhan remajanya beliau ketika berumur 11 tahun telah meninggalkan kampung Gurukinayan menjadi kernek bus di kampung Batukarang, karena tokehnya atau pemilik bus bernama Atol Bangun berdomisili di kampung tersebut. Reti Sembiring Gurkinayan mempunyai cita- cita agar dikemudian hari beliau ingin memiliki armada bus walaupun pada saat itu hanyalah sebagai kernek bus ban mati / roda mati diawal tahun 1915. Beliau sadar bahwa untuk dapat memiliki armada bus sendiri tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang serta harus memiliki tekad yang kuat, mau bekerja keras, disiplin dan juga hemat. 

Pada waktu itu tidak semua yang menjadi kernek bus/ truk otomatis dikemudian hari akan  dapat  menjadi  seorang  supir.  Peningkatan kariernya  tidak  akan pernah tercapai apabila tidak dapat mengambil hati supirnya yang mempunyai otoritas cukup besar untuk menentukan siapa yang layak sebagai kerneknya dalam mengoperasikan bus / truk  yang   dipercayakan oleh pemiliknya (majikannya) Kalau  sang  kernek  tidak  rajin  dan  tekun  serta disiplin dan gigih maka kemungkinan besar sang kernek dapat diberhentikan oleh supirnya dan kedudukannya akan digantikan oleh orang lain yang menurut sang supir lebih baik atau selamanya hanyalah sebagai kernet karena sang supir tidak pernah memberi kesempatan baginya untuk belajar mengemudi.

Mengingat pada waktu itu, Reti Sembiring Gurukinayan yang mempunyai cita-cita yang tinggi bagi dirinya dan untuk masa depannya serta keluarganya dikemudian hari, beliau berusaha menjadi kernek yang gigih, rajin dan disiplin dan  disayangi oleh supirnya serta mempunyai rasa memiliki. Karena khawatir suatu saat kemungkinnan akan diberhentikan oleh sang supir bila tidak rajin dan disiplin maka dalam melaksanakan tugasnya sebagai kernek bus beliau bekerja keras agar penghasilan dari setoran bus yang mereka operasikan bersama supirnya minimal dapat menghasilkan setoran yang layak dan wajar kepada pemilik bus. Akan tetapi tidak hanya masalah setoran yang jadi patokan bagi dirinya dalam melaksanakan pekerjaannya, tapi juga masalah perawatan bus pun menjadi perhatian utamanya, sehingga beliau juga berupaya untuk mengetahui seluk beluk mesin bus termasuk membersihkan bus di poolnya pada malam hari apabila selesai operasi pada pagi dan siang hari. Pada saat itu untuk dapat menjadi supir tidaklah semudah pada saat ini, pekerjaan sebagai supir sangat didambakan oleh banyak orang bagi mereka yang tidak mau melanjutkan sekolahnya ketingkat yang lebih tinggi, apalagi bagi seorang pemuda bernama Reti Sembiring Gurukinayan yang pada awalnya adalah seorang yang buta aksara sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi kernek dulu baru menjadi supir kemudian memiliki armada bus sendiri, cukup sederhana cita-citanya, sedangkan pekerjaan sebagai petani di kampung tidak ada dalam benaknya. 

Disamping itu pekerjaan sebagai supir sangat dihormati oleh masyarakat didaerah kelahirannya, dan tentunya juga menjadi idaman oleh para gadis untuk dapat dipersunting menjadi istri seorang supir. Didalam pikirannya, hanya  dengan jalan yang sedang dia tekuni inilah satu-satunya jalan bagi dirinya untuk mencapai masa depan yang lebih baik dikemudian hari. Apalagi beliau anak tertua dari 3 (tiga) bersaudara, maka seyogyanya dapat memberikan contoh atau panutan bagi saudara lainnya, hal ini berlaku umum di masyarakat Karo. Ada kepercayaan masyarakat Karo, apabila anak tertua berhasil atau sukses / memiliki pendidikan tertinggi maka dengan sendirinya adik-adiknya akan mengikutinya jejaknya, orang yang sukses didalam keluarga akan dengan sendirinya memiliki wibawa dan jadi panutan dibandingkan dengan yang tidak berhasil, terutama dihadapan saudaranya atau adik-adiknya.

Cita-cita seorang pemuda Reti Sembiring sebenarnya mungkin cukup sederhana bagi sebagian orang, apalagi tidak terlalu sulit untuk mencapainya, karena hanya dengan bermodalkan mau bekerja keras, tekun, disiplin dan mau berhemat serta mempunyai rasa memiliki maka kemungkinan besar akan dapat berhasil. Beliau sadar bahwa orang yang awalnya buta aksara maka beliau tidak mengimpikan cita-cita yang muluk-muluk, hanya satu keinginannya bahwa pada suatu saat dapat memiliki bus sendiri yang akan dia kemudikan sendiri dan dirawat sendiri agar biaya perawatannya akan semakin ringan. 

Oleh sebab itu, pada pada malam harinya setelah selesai membersihan bus yang menjadi tanggung jawabnya sehari-hari , beliau juga mencuci tidak hanya pakaiannya sendiri akan tetapi juga pakaian supirnya, walaupun    tidak pernah disuruh oleh supirnya yang memang bukan menjadi tanggung jawabnya sebagai kernek bus. Demikian juga diwaktu senggang beliau tidak lupa untuk belajar membaca, menulis dan berhitung secara otodidak sehingga akhirnya berhasil. Beliau tidak pernah mengikuti pendidikan formal karena situasi dan kondisi keluarga pada waktu itu tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan formal dijaman penjajahan, apalagi sebagai anak tertua semasa kecilnya beliau juga harus ikut menggendong dan merawat adik-adiknya serta membantu ibunya di ladang.

Tembut-tembut Seberaya


Tembut-tembut Seberaya

 Hai, Teman-teman, Kenal gak dengan salah satu seni pertunjukan tradisional Batak karo ini? ya, seni pertunjukan tradisional ini kerap digunakan dengan nama “gundala-gundala” karo atau Lingga (Desa Lingga). Tembut-Tembut Seberaya diciptakan oleh Pirei Sembiring Depari yang lahir antara tahun 1856 atau 1886 di keluarga yang sudah mempunyai jiwa seni. Dia terlahir sebagai seorang seniman dan seorang pandai besi (pembuat tumbuk lada) yang berbakat. Pada tahun 1918 hiasannya terhadap tumbuk lada (senjata tradisional Batak Karo, mempunyai maksud yang sama dengan Keris dari jawa) dirasakan sangat unik dan istimewa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dari hal tersebut, Belanda membawanya ikut ke Betawi untuk berpartisipasi pada ajang kejuaraan pahat nasional dan hasil pertandingan tersebut diraihnya dengan mendapat juara 2 nasional dari pemerintah kolonial Belanda sebagai pemahat dengan ukiran terbaik setelah Bali. Apresiasi diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda berupa uang dan medali sebagai hadiah. Sepulang dari Betawi, Pirei Sembiring Depari menciptakan seni pertunjukkan tembut-tembut dengan awal maksud hanyalah sebagai hiburan masyarakat semata namun tetap dilatarbelakangi bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa. tembut-tembut berasal dari kata “nembut-nembuti yang artinya Menakut-nakuti orang yang ingin berbuat niat jahat. Kini keberadaan Tembut-tembut seberaya, sangat memprihatinkan. Duplikasi Tembut-Tembut semakin menjadi-jadi, para pemilik modal dengan gampangnya membuat topeng yang mirip dengan topeng ini. alhasil, yang paling terkenal saat ini malahan bukan Tembut-Tembut-nya tetapi Gundala-Gundala yang dibuat dari desa lain (lingga). dengan kata lain, Tembut-tembut sedang mengalami pergeseran arus bawah yang sangat kuat. Apa yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten karo dalam menghadapi situasi yang memprihatinkan ini? sangat ironi, mereka malah membuat duplikasi yang baru. Sekarang tembut-tembut seberaya tidak lagi pernah digunakan dalam berbagai macam festival budaya, kata penjaga Museum Lingga kepada penulis “Tembut-tembut seberaya sudah ada di ambang kepunahan, begitu kata dinas kebudayaan karo kepada saya, waktu saya mementaskan gundala-gundala”.
Penulis tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh budayawan Lingga ini. ke-esokan harinya, penulis mendatangi langsung departemen kebudayaan dan pariwisata kabupaten karo. tak diduga, mereka malah mengusulkan untuk tidak membahas ini dalam penelitian yang saya sedang kerjakan tersebut, mereka mengusulkan untuk mengambil permasalahan di seputar Berastagi saja. Wah, Ironi… Ironi, dengan tegas dan bersuara nyaring mereka mengatakan ” eh, biar kau tau aja, gak ada namanya tembut-tembut di tanah karo ini, yang ada hanya gundala-gundala lingga”. Jujur,peneliti sangat syok. apa yang terjadi? mengapa sepertinya mereka panik ketika saya berusaha meneliti ini? apa keuntungan yang mereka dapatkan? mengapa mereka tidak mendukung penelitian saya? dan berbagai pertanyaan lain muncul di benak saya pada saat itu.
saya berusaha menepis pandangan negatif yang disampaikan kepada saya oleh pemerintah kabupaten karo, dan berusaha mencari kepastian yang nyata. esoknya saya mengunjungi Desa Seberaya, kurang lebih 30 menit dari kota Berastagi–berusaha menjumpai sang empu-nya tembut-tembut seberaya. dengan ramah, penjaga tembut tembut seberaya menerima saya dengan tangan terbuka. peneliti menceritakan maksud kedatangan dan kisah-kisah yang dialami pada saat mencari data tentang seni pertunjukan ini. sedari tersenyum, paman tersebut menceritakan, tahun 2004 tembut-tembut ini diberangkatkan secara eksklusif ke 11 negara di dataran eropa bersama seni tari tradisional khas indonesia lainnya. pada saat itu Pihak dari Eropa meminta yang Asli bukan duplikasi-nya, yah tau saja bagaimana kualitas Eropa (mereka tidak mau the fake serial). sekarang ini kualitas standar Eropa tersebut telah mengalami masa transisi yang sangat pahit. pelaku budaya sedikit nyeletuk, “yah… hahaha… departemen pariwisata kabupaten karo–sengaja mereka tempah tembut-tembutnya sendiri–biar dapat pemasukan lah–makanya sekarang omset tembut-tembut seberaya lagi turun–semua proyek mereka yang ambil–sebentar lagi kayanya mereka mau buat–supaya tembut-tembut mereka itu di cap yang asli– ah.. terserah mereka lah”.
mungkin anda dapat menyimpulkan penelitian ini.


















Harga Diri, Dibayar Darah


Belajar pada masa lalu itu bijak, agar kita sadar bahwa kita adalah produk dari sebuah masyarakat yang berjalan, produk dari sebuah budaya itu sendiri dan dipengaruhi oleh waktu yang melaju bersama interaksi dengan masyarakat luar lainnya. Dan ketika menemukan kabar lama yang menyakitkan, kita harus mampu berucap :
"Horeee... aku menemukan akar penyebab penyakit di kekinian."
Berikut kabar lalu tentang masyarakat Karo yang katanya : "Selain beradat, suka menolong, hemat, dan pengasih, mereka juga pendendam dan tahu harga diri".


13 Agustus 1988
Tempointeraktif.com
Umbul-umbul, dipacangkan di sebuah lapangan, di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Itulah pertanda akan berlangsung pertarungan dua laki-laki. Penduduk membentuk lingkaran, menonton kedua pria yang siap turun berlaga dengan tangan kirinya terikat seutas tali satu sama lain. Lali, seorang pengetua adat, setelah berpidato singkat, menyerahkan pisau kepada kedua jagoan. dengan pisau di tangan, keduanya mengangkat sumpah : "Pinter bilang ku Dibata" (lurus perhitungan kepada Tuhan). Artinya, cuma Tuhan yang tahu, siapa yang benar di antara mereka. Setelah aba-aba pertarungan dimulai, tikam menikam pun terjadi.

"Biasanya," kata Moderamen (pucuk pimpinan) Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Ds. A. Ginting Suka, "seseorang dari mereka mati". Dan penonton mempercayai, yang bersalah adalah yang mati.

"Jika keduanya tewas, maka keduanya memang dianggap bersalah," kata P. Antonius Sitepu, dosen Fisipol Universitas Sum-Ut (USU), kepada TEMPO. Duel maut semacam itu, secar adat, pernah menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan perselisihan. Ini ditempuh jika musyawarah keluarga, kerabat, dan lembaga adat tidak mampu mendamaikannya. Pembunuhan terjadi, kata Ginting Suka, biasanya karena harga diri seseorang tersinggung.

Upacara Sar-sar Lambe, duel untuk mencari yang bersalah tersebut, telah dihapus sejak zaman Belanda. Pemancangan umbul-umbul di lapangan untuk mengadili "siapa yang salah dan benar" dengan duel maut semacam itu juga sudah tidak ada lagi. Namun, mengutip kesimpulan Seminar Adat-Istiadat Karo awal 1977, masyarakat di kabupaten itu agaknya punya sifat menonjol: "Selain beradat, suka menolong, hemat, dan pengasih, mereka juga pendendam dan tahu harga diri".

Guru Patimpus, Pendiri Kota Medan


Guru Patimpus adalah seorang Karo bermarga Sembiring Pelawi. Guru Patimpus dikenal sebagai pendiri Kota Medan. Berikut adalah sejarah singkat Perjalanan Guru Patimpus yang berasal dari daerah dataran tinggi Karo, hingga akhirnya mendirikan desa yang bernama Medan:

Di Monumen Guru Patimpus Tertulis Jelas Marga Sembiring Pelawi dan Bukan Marga Lain

Guru Pa Timpus dilahirkan di Aji Jahe salah satu kampung di Taneh Karo Simalem yang sejuk, dingin, nyaman dengan angin pegunungannya. Ia menikah di Batu Karang dengan beru Bangun, mendirikan kampung di Perbaji dan memiliki seorang anak laki-laki bernama Bagelit. Guru Pa Timpus bertubuh kekar, tinggi, gagah, dan berjiwa patriotik seperti seorang panglima. Ia juga seorang Guru, yang dalam bahasa Karo berarti seorang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, ilmu obat-obatan, ilmu gaib, dan memiliki kesaktian, namun Ia-nya berjiwa penuh kemanusiaan lemah lembut dalam bertutur kata, mempunyai karakteristik yang simpatik, berwibawa, berjiwa besar dan pemberani.
Dengan menuruni lembah-lembah yang penuh mistis, hutan semak belukar dan binatang buas, ia mendaki lembah-lembah yang terjal dan curam, dengan menelusuri aliran Lau Petani menuju ke satu bandar di hilir sungai Deli untuk suatu tujuan yaitu mencoba ilmu kesaktiannya dan belajar pada Datuk Kota Bangun seorang Guru dan Ulama besar yang terkenal pada masa itu.
Setelah beberapa lama bermukim ia kawin dengan seorang putri dari pulau Brayan keturunan anak panglima Deli, bermarga Tarigan dan sekitar tahun 1590 M, ia membuka dan mendirikan kampung dipertemuan dua buah sungai Deli dan Babura yang dinamainya dengan ‘Medan’, dari perkawinannya ini lahirlah salah seorang putra yang diberinya nama Hafis Muda, dari sinilah silsilah keturunan Datuk Wajir Urung 12 Kuta (Datuk Hamparan Perak), keturunan terakhir dari Generasi ke-XV adalah Datuk Adil Freddy Haberham, SE sebagai salah seorang Datuk 4 suku dikesultanan Deli.
Guru Pa Timpus telah menjadi milik Masyarakat Kota Medan. Ia berjiwa Nasionalis dibuktikan dengan tidak dicantumkannya Marga Sembiring Pelawi pada Dirinya dan Anak Cucu Keturunannya.
Pemko Medan telah memberikan penghargaan terhadap Guru Pa Timpus, yaitu dengan ditetapkannya Hari Jadi Kota Medan pada tanggal 1 Juli 1590 dan kemudian memberikan nama kepada salah satu jalan di petisah dengan nama jalan Guru Pa Timpus.
Apa yang telah dilakukan Guru Pa Timpus adalah merupakan salah satu sejarah bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya, corak dan peninggalan sejarahnya telah memberikan warna khas kepada kebudayaan bangsa, serta hasil pembangunan yang mengandung nilai perjuangan, kepeloporan yang merupakan kebanggaan nasional ini, perlu terus digali dan dilestarikan, dipelihara, serta dibina untuk memupuk semangat perjuangan dan cinta tanah air. Perencanaan Pembangunan disemua tingkatan haruslah diperhatikan pelestariannya, apalagi pelestarian bangunan benda yang mengandung nilai sejarah bertitik tolak dari keagungan Jiwa Guru Pa Timpus.

Kiras Bangun ( Gara Mata), Pahlawan Nasional dari Desa Batukarang


Legenda Garamata/ Kiras Bangun

Peranan Kiras Bangun/ Garamata di Tengah Masyarakat Karo
Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang bermakna “Mata Merah”. Masa mudanya ia sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.
Pemerintahan yang ada pada masa itu disebut pemerintahan Urung dan Kampung yang berdiri sendiri/otonomi. Jalannya roda pemerintahan dititikberatkan pada norma-norma adat. Tidak jarang pula terjadi sengketa antar Urung dan antar Kampung dengan motif berbagai macam persoalan.
Pihak-pihak yang bertikai, acap kali mengundang Garamata turut memecahkan persoalan. Dengan sikap jujur, berani dan bertanggung jawab Garamata bertindak tegas tetapi arif dan bijaksana, berlandaskan semboyan “Rakut Sitelu” (Kalimbubu, Sembuyak dan Anakberu) yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bertindak beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang memuaskan semua pihak. Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi, Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang. Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut.
Latar Belakang Ekspansi Belanda ke Tanah Karo
Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.
Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.
Kepopuleran Kiras Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata.
Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.
Timbulnya Permusuhan dengan Belanda
Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo sebagai berikut:
Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.
Keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak. Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.
Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.
Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.
Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda.
Menggalang Kekuatan
Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.
Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.
Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya Surbakti.
Intervensi Belanda di Seberaya Membangkitkan Kemarahan Garamata
Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.
Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.
Batukarang Jatuh
Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.
Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.
Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.
Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904) dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.
Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.
Liren dan Sekitarnya Jadi Basis Perlawanan
Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan.
Dijelaskan bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya tetapi lemah dalam dukungan logistik.
Sebagai daerah penyingkiran semua rencana diatur dari basis ini baik untuk kontak hubungan dengan daerah tetangga maupun mengganggu patroli-patroli Belanda yang secara rutin melewati Liren dan daerah sekitarnya.
Perang Gerilya
Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda dimana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya sekarang kita kalah, besok kita menang.
Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.
Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah.
Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda.
Opportinuteits Beginsiel
Pendudukan Belanda atas Batuk arang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.
Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.
Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.
Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di perladangan Riung selama 4 tahun.

MENGANGKAT TULANG-TULANG, CARA ORANG KARO MENGHORMATI LELUHURNYA


     Orang Karo sangat beradat dan menghargai leluhur sehingga secara khusus memilki kebudayaan mengumpulkan kembali tulang-tulang leluhur yang telah lama meningal dunia. Cara ini dikenal dengan Nampeken TULAN-TULAN (Nampeken = mengambil dalam arti mengumpulkan kembali , Tulan-tulan = Tulang/ skeletons). Dalam bahasa sederhananya dikatakan MUAT TULAN-TULAN (MUAT= MENGUMPULKAN). Muat tulan-tulan  merupakan satu dari sekian banyak upacara adat karo,sebagai wujut penghormatan kepada orang tua dan leluhur.
Tulan-tulan/ Tulang-tulang (sumber SAPOHOLLAND FB Group)                

    Biasanya acara seperti ini dilakukan di JAMBUR.  Jambur adalah Rumah tempat penyelengaraan kegiatan adat suku Karo yang lebih besar dari sebuah pesta perkawinan. Bayangkan saja sejumlah anak beranak empat hingga lima keturunan berkumpul bersama untuk mengujutkan acara ini.
Pengumpulan tulan-tulan (SAPO HOLLAND FB GROUP)                                                      
Dalam sebuah kesempatan:  Ade Fani Ketaren, menyampaikan pengalamannya dalam kegiatan adat budaya KARO ini. Yang bertugas mengali kuburan adalah anakberu,semua tulang2 yang di ambil lalu di cuci bersih,lalu di mandikan dengan lau penguras (air yang dibuat khusus untuk acara ini) yang  dibuat dari ramuan jeruk purut, air kelapa muda dan beberapa rempah lain.Lalu setelah bersih dan di mandikan dengan lau penguras, maka tulang belulang di susun sedamikina rupa dan dibacakan doa-doa. Kemudian di bungkus dengan dagangen (kain putih) lalu di sumpitken (dibungkus sedemikian rupa). Kemudian tulang-tulang tersebut di bawa kerumah sambil menunggu prosesi saudara yang lain selesai.
     Namun belakangan ini  yg bertugas mengali kuburan sekarang sudah mengunakan aron/pekerja yang diminta khusus dan dibayar. Lihat gambar, laki-laki yang jongkok di sebelah kiri itu anak beru “bayaran” istilahnya. Setelah semua tulang belulang sodara2 yang lain terkumpul, maka tulang belulan di masukkan dalam peti kecil dan masing-masing peti di buat nama yang bersangkutan, lalu di adakan acara adat namanya ngampeken tulan-tulan yang biasanya di adakan di jambur. Acara ini biasanya di hadiri oleh seluruh keluarga yang bersangkutan,dan biasanya y hadir sangat banyak lebih banyak dari pesta perkawinan dan adat kematian. Setelah prosesi adat selesai maka tulan-tulan tadi semua dimasukkan ke dalam sau bangunan yang di sebut Geriten (bangunan khusus yang digunakan sebagai tempat mengumpulkan tulang-tulang tersebut).
Kegiatan ini masih terkait dengan keyakinan lama orang Karo dan masih terjaga dengan baik hingga saat ini walaupun acaranya sudah diubah dengan kegiatan yang menggunakan religi yang modern sesuai perkembangan  keyakinan. Kegiatan ini tentunya membutuhkan kerjasama, kesepakatan dan dana yang cukup besar, sehingga ini dapat menjadi salah satu indikator bahwa orang Karo telah memiliki BUDAYA yang tinggi dan menjaga NILAI KEMANUSIAAN HINGGA KELELUHURNYA YANG TELAH MENINGGAL DUNIA.